"Dia Allah Maha Mengetahui Apa Yang Ada di Langit dan apa Yang Ada di Bumi, Dia Allah Mengetahui Apa yang Kamu Nyatakan dan apa yang Kamu sembunyikan dan Dia Allah Mengetahui Apa yang ada di sudut hatimu"

19 Des 2010

Mendakwahi Orang Kafir Ataukah Muslim?

Keutamaan Dakwah
Akhil karim, sesungguhnya Allah ta’ala telah memerintahkan untuk berdakwah kepada manusia menuju jalan-Nya. Allah banyak berfirman mengenai hal ini, diantaranya adalah firman-firman-Nya berikut ini,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٠٨)
Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108).
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ (١٢٥)
Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah. (An Nahl: 125).
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (٣٣)
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang Islam? (Fushshilat: 33).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
بلغوا عني ولو آية
Sampaikanlah dariku walau satu ayat (HR. Bukhari: 3461).
لأن يهدي الله بك رجلا واحد خير لك من حمر النعم
Allah memberi petunjuk kepada satu orang melalui perantaraanmu (yaitu dengan dakwah), itu lebih baik daripada seekor unta merah (HR. Bukhari: 3701).

Faedah
Terdapat faedah yang dapat dipetik dari uraian di atas, yaitu:
  • Berdakwah wajib dilakukan karena Allah dan bertujuan agar manusia menempuh jalan-Nya. Dengan demikian, seorang da’i berdakwah karena mengharap Wajah-Nya, bukan menyeru manusia kepada dirinya, atau untuk mendukung suatu kelompok dan perhimpunan, tidakpula berdakwah karena ingin meraih kepemimpinan, jabatan, harta, popularitas, atau berbagai tujuan lain yang rendah dan fana.
  • Dakwah yang dilakukan adalah dakwah menuju jalan-Nya, yaitu shirathal mustaqim, jalan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Dakwah dilandasi hikmah dan nasihat yang baik, dengan kriteria dakwah yang berlandaskan ilmu, kelembutan, dan kesabaran
sehingga,
Berilmu sebelum memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran
Berlaku lemah lembut selama memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran, dan
Bersabar ketika dan sesudah memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran
  • Dakwah memiliki keutamaan yang besar karena tidak seorang pun yang memiliki perkataan, kondisi, dan kesudahan yang terbaik, selain orang yang berdakwah kepada Allah ta’ala.
  • Dakwah dilakukan sesuai dengan kadar kemampuan, meski hanya menyampaikan sebuah ayat Al Qur-an, atau menjelaskan sebuah hukum dari suatu permasalahan, atau menyampaikan sebuah sunnah dari berbagai sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Akhil karim, semoga Allah memberikan taufik kepadaku dan dirimu untuk menunaikan kebajikan, apabila anda menginginkan amalan dengan pahala dan ganjaran yang tidak kunjung habis, maka anda harus berdakwah kepada Allah ta’ala, karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
إن الدال على الخير كفاعله
Sesungguhnya seorang yang menunjukkan kebaikan seperti orang yang melakukannya (dalam hal pahala) [Shahihul Jami': 1605] .
Menjaga Modal
Akhil karim, semoga Allah merahmatiku dan dirimu, salah satu sikap hikmah dalam berdakwah kepada Allah adalah lebih memfokuskan perhatian untuk mendakwahi saudara kita, sesama muslim selain berdakwah kepada orang-orang kafir. Karena mendakwahi orang kafir merupakan laba/untung dan merupakan upaya untuk menambah kuantitas kaum muslimin, sedangkan mendakwahi saudarai kita sesama muslim merupakan upaya untuk menjaga modal. Tentu, seorang pedagang yang sukses akan lebih perhatian untuk menjaga modal baru kemudian berusaha mencari untung.
Jika anda telah memahami hal ini, maka anda dapat mengetahui bahwa yang menjadi kewajiban adalah mengerahkan usaha dalam berdakwah sembari memfokuskan perhatian dalam mendakwahi kaum muslimin, memperbaiki akidah, ibadah, dan akhlak mereka, terlebih di saat ini berbagai penyimpangan dan kesesatan dari segi akidah; bid’ah dalam peribadatan telah masuk ke dalam barisan kaum muslimin. Tidak hanya itu, banyak diantara kaum muslimin memiliki penyimpangan akhlak sehingga terjerumus ke dalam berbagai perbuatan keji dan mungkar seperti terjerumus ke dalam penggunaan narkoba, minuman yang memabukkan, zina, perbuatan durhaka, pemboikotan terhadap sanak keluarga, dan yang selainnya.
Apa yang dipaparkan di atas tidak berarti kita mengenyampingkan dakwah kepada orang-orang kafir, memotivasi mereka untuk masuk Islam dan menjelaskan berbagai keindahan Islam kepada mereka. Bukan demikian, karena mendakwahi orang kafir juga merupakan hal yang urgen. Akan tetapi, yang dimaksud adalah mendakwahi kaum muslimin lebih diprioritaskan, yaitu dengan mengerahkan usaha yang lebih untuk mendakwahi mereka ketimbang usaha untuk mendakwahi orang-orang kafir.
Kemudian, akhil karim, semoga Allah memberkatimu, ketahuilah bahwa sesungguhnya keistiqamahan (konsistensi) kaum muslimin dengan kembali menerapkan ajaran Islam yang shahih dan murni, pada hakekatnya merupakan upaya dakwah kepada orang-orang kafir. Dan sebaliknya, penyimpangan yang dilakukan kaum muslimin, pada hakekatnya merupakan penghalang bagi orang lain untuk berjalan di atas jalan-Nya. Betapa banyak orang kafir yang mengurungkan niat untuk masuk ke dalam Islam karena melihat kondisi kaum muslimin yang memprihatinkan. Dan fakta yang tidak diragukan lagi bahwa sebagian kaum muslimin atau mereka yang tercatat dalam data statistik sebagai orang muslim, adalah mereka yang cuek terhadap Islam dan tidak menampakkan ajaran Islam dalam perikehidupannya kecuali hanya menyandang predikat bahwa dia adalah seorang muslim (Islam KTP).
Di antara mereka (muslim KTP) terdapat pula orang-orang yang melakukan praktek kesyirikan, yaitu pemeluk ajaran kebatinan yang mengultuskan para wali dan orang shalih. Merekalah orang-orang yang menampakkan keislaman, namun menyembunyikan kekufuran. Wajib bagi para da’i untuk menerangkan dan memperingatkan umat akan kondisi mereka, sehingga tidak menjadi penghalang bagi manusia untuk memeluk ajaran Islam dan membuat fitnah di dalam agama ini.
Demikian pula, hal yang patut diperhatikan adalah fokus berdakwah untuk memperbaiki keadaan para da’i dan tokoh masyarakat di setiap waktu dan tempat. Mereka inilah yang menjadi publik figur masyarakat. Jika mereka tidak berada di atas rel istiqamah, tidak komitmen dengan ajaran agama, sementara manusia banyak yang mengikutinya, maka mereka akan merusak banyak orang.
Simpulan
Kesimpulannya adalah berdakwah haruslah dilakukan dengan hikmah, dan salah satu hikmah dalam berdakwah adalah:
  • Lebih memfokuskan perhatian untuk mendakwahi kaum muslimin. Berusaha untuk memperbaiki akidah, ibadah, dan akhlak mereka.
  • Memfokuskan perhatian untuk membimbing dan menasehati sesama da’i dan tokoh masyarakat, sehingga mereka tidak menjadi penyebar kebatilan dengan perilaku mereka yang menyimpang dari ajaran agama.
  • Da’i yang sukses lagi penuh hikmah dalam berdakwah janganlah lalai dari memperingatkan umat akan kondisi ahlul ahwa wal bida’, -pelaku bid’ah yang mengedepankan hawa nafsu- dan mereka yang menjadikan Islam hanya sebagai kamuflase belaka. Seorang da’i berkewajiban melakukan hal tersebut sehingga manusia tidak berkeyakinan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang disebarkan oleh mereka.
  • Kemudian, tidak lupa, da’i patut mendakwahi orang-orang kafir dan menjelaskan keindahan Islam kepada mereka agar setiap da’i mengingat bahwa dakwah wajib dilakukan karena Allah dan  hanya kepada-Nya, bukan kepada kelompok-kelompok tertentu.
والحمد لله أولا وآخرا وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Diterjemahkan dengan beberapa perubahan dari artikel Syaikh Salim ath Thawil, Da’watul Kuffar Ribhun wa Da’watul Muslimin Ra-sul Maal.
Penyusun: Muhammad Nur Ichwan Muslim

21 Nov 2010

INILAH BEKAS BEKAS PELAJARAN TAUHID

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu perkara yang memiliki bekas-bekas/dampak yang baik serta keutamaan yang beraneka ragam seperti halnya tauhid. Karena sesungguhnya kebaikan di dunia dan di akherat itu semua merupakan buah dari tauhid dan keutamaan yang muncul darinya.” (al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 16)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah juga berkata, “Segala kebaikan yang segera -di dunia- ataupun yang tertunda -di akherat- sesungguhnya merupakan buah dari tauhid, sedangkan segala keburukan yang segera ataupun yang tertunda maka sesungguhnya itu merupakan buah/dampak dari lawannya….” (al-Qawa’id al-Hisan al-Muta’alliqatu Bi Tafsir al-Qur’an, hal. 26)
Allah ta’ala berfirman,
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (yaitu syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah.” (QS. al-An’aam: 82)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata: Ketika turun ayat “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (yaitu syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah.” (QS. al-An’aam: 82) Maka hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas merekapun mengadu, “Lalu siapakah diantara kami ini yang tidak menzalimi dirinya sendiri?”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak seperti yang kalian sangka. Sesungguhnya yang dimaksudkan adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Luqman kepada anaknya; ‘Hai anakku, janganlah kamu berbuat syirik. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.’ (QS. Luqman: 13).” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [2/206])
al-Khatthabi rahimahullah berkata, “Asal makna dari zalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, dan barangsiapa yang menempatkan ibadah untuk selain Allah ta’ala maka dia adalah sosok pelaku kezaliman yang paling zalim.” (sebagaimana dinukil oleh an-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim [2/206])
Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Qar’awi hafizhahullah berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan kepada kita bahwasanya barangsiapa yang mentauhidkan-Nya dan tidak mencampuri tauhidnya dengan syirik maka Allah menjanjikan atasnya keselamatan dari masuk ke dalam neraka di akherat serta Allah akan membimbingnya menuju jalan yang lurus di dunia.” (al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 35)
Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Qar’awi hafizhahullah juga menjelaskan, “Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang meninggal di atas tauhid serta bertaubat dari dosa-dosa besar maka dia akan selamat dari siksa neraka. Dan barangsiapa yang meninggal dalam keadaan masih bergelimang dengan dosa-dosa besar/tidak bertaubat darinya sementara dia masih bertauhid maka dia akan selamat dari -hukuman- kekal di neraka.” (al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 35)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan la ilaha illallah wahdahu la syarika lah -tiada sesembahan yang benar selain Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya- dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Kemudian mengatakan bahwa Isa adalah hamba Allah dan putra dari seorang hamba perempuan-Nya serta terjadi dengan kalimat-Nya yang diberikan kepada Maryam dan merupakan ruh dari -ciptaan-Nya. Dan dia mengatakan bahwa surga itu benar, neraka juga benar. Maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga melalui salah satu pintu manapun di antara kedelapan pintu surga yang dia kehendaki.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [2/70-71])
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Di antara keutamaan tauhid yang paling agung adalah ia merupakan sebab yang menghalangi kekalnya seorang di dalam neraka, yaitu apabila -minimal- di dalam hatinya masih terdapat tauhid meskipun seberat biji sawi. Kemudian, apabila tauhid itu sempurna di dalam hati maka akan bisa menghalangi masuk neraka secara keseluruhan/tidak masuk neraka sama sekali.” (al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 17)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada seorang hambapun yang mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah dan Muhammad adalah hamba serta utusan-Nya melainkan Allah pasti haramkan dia tersentuh api neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [2/82-83])
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah barang sedikitpun maka dia pasti masuk neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [2/164])
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jibril ‘alaihis salam datang kepadaku dan menyampaikan kabar gembira bahwa barangsiapa yang meninggal di antara umatmu dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah barang sedikitpun maka dia pasti masuk surga.” Aku -Abu Dzar- berkata, “Meskipun dia berzina dan mencuri?”. Maka beliau menjawab, “Meskipun dia berzina dan mencuri.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [2/166])
an-Nawawi rahimahullah berkata, “…Apabila dia adalah seorang pelaku dosa besar -yaitu yang masih bertauhid- meninggal dalam keadaan terus-menerus bergelimang dengannya -maksudnya tidak bertaubat dari dosa besarnya- maka dia berada di bawah kehendak Allah -artinya terserah kepada Allah mau menghukum atau memaafkannya-. Apabila dia dimaafkan maka dia bisa masuk surga secara langsung sejak awal. Kalau tidak, maka dia disiksa terlebih dulu lalu akan dikeluarkan dari neraka dan dikekalkan di dalam surga…” (Syarh Muslim [2/168])
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “…Sesungguhnya salah satu ciri hati yang sakit adalah ia berpaling dari mengkonsumsi hal-hal yang bermanfaat dan yang cocok dengannya menuju hal-hal yang justru membahayakan dirinya, serta ia berpaling dari obat yang manjur menuju penyakit yang membahayakan…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 96)
Beliau rahimahullah juga berkata, “…Salah satu ciri sehatnya hati adalah ia senantiasa merasa rindu dan berhasrat untuk berkhidmat/mengabdi dan taat -kepada Allah- sebagaimana halnya orang yang lapar menginginkan makanan dan minuman.” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 98)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (40) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى (41)
“Maka barangsiapa yang merasa takut akan kedudukan Rabbnya serta menahan dari melampiaskan hawa nafsunya -dengan cara yang terlarang-, maka sesungguhnya surga adalah tempat tinggal baginya.” (QS. an-Nazi’aat: 40-41)
Allah ta’ala juga berfirman,
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (88) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89)
“Pada hari itu -kiamat- tidak berguna harta dan keturunan, kecuali bagi orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’araa’: 88-89).
Wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa sallam.
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

HAKIKAT CINTA KEPADA RASULULLAH

Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam [1], memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjelas dan penjabar dari al-Qur’an yang mulia, yang merupakan sumber utama syariat Islam. Oleh karena itu, tanpa memahami sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, seseorang tidak mungkin dapat menjalankan agama Islam dengan benar.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نزلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala), supaya mereka memikirkan.” (Qs. an-Nahl: 44).
Ketika Ummul mukminin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ditanya tentang akhlak (tingkah laku) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab, “Sungguh, akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an.”[2] Ini berarti, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya.[3] Maka, orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dialah yang paling sempurna dalam berpegang teguh dan mengamalkan al-Qur’an dan agama Islam secara keseluruhan.
Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah Ta’ala merahmatinya– berkata, “(Termasuk) landasan (utama) sunnah (syariat Islam) menurut (pandangan) kami (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) adalah bahwa sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penafsir dan argumentasi (yang menjelaskan makna) al-Qur’an.”[4]
Oleh karena itulah, para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mendefinisikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sesuatu yang mencakup syariat Islam secara keseluruhan, baik ucapan, perbuatan maupun keyakinan.[5]
Imam Abu Muhammad al-Barbahari[6] berkata, “Ketahuilah, bahwa Islam itu adalah sunnah dan sunnah itu dialah Islam, yang masing-masing dari keduanya tidak akan tegak tanpa ada yang lainnya.”[7]
Arti mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah, Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali ‘Imran: 31).
Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya.”[8]
Imam al-Qadhi ‘Iyadh al-Yahshubi berkata, “Ketahuilah, bahwa barangsiapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti nyata). Maka orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jika terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang utama adalah (dengan) meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab (etika) yang beliau (contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan lapang maupun sempit.”[9]
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan meneladani petunjuk dan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan berusaha mempelajari dan mengamalkannya dengan baik. Dan bukanlah mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah[10] dengan mengatasnamakan cinta kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau memuji dan mensifati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berlebihan, dengan menempatkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi kedudukan yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tempatkan beliau padanya.[11]
Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memuji diriku secara berlebihan dan melampaui batas, sebagaimana orang-orang nasrani melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.[12]
Inilah makna cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipahami dan diamalkan oleh generasi terbaik umat ini, para sahabat radhiallahu ‘anhum. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidak ada seorangpun yang paling dicintai oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi jika mereka melihat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka tidak berdiri (untuk menghormati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci perbuatan tersebut.”[13]
Bagaimana menyempurnakan cinta kepada sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam diri kita?
Imam Ibnu Rajab al-Hambali membagi derajat (tingakatan) cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi dua tingakatan, yang berarti dengan menyempurnakan dua tingkatan ini seorang akan memiliki kecintaan yang sempurna kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ini merupakan tanda kesempurnaan iman dalam dirinya.
Dua tingkatan tersebut adalah:
1- Tingkatan yang fardhu (wajib), yaitu kecintaan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang mengandung konsekuensi menerima dan mengambil semua petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi Allah dengan (penuh rasa) cinta, ridha, hormat dan patuh, serta tidak mencari petunjuk dari selain jalan (sunnah) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam secara utuh. Kemudian, mengikuti dengan baik agama yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan dari Allah, dengan membenarkan semua berita yang beliau sampaikan, manaati semua kewajiban yang beliau perintahkan, maninggalkan semua perbuatan haram yang dilarangnya, serta menolong dan berjihad (membela) agamanya, sesuai dengan kemampuan unutk (mengahadapi) orang-orang yang menentangnya. Tingkatan ini harus dipenuhi (oleh setiap muslim) dan tanpanya keimanan (seseorang) tidak akan sempurna.
2- Tingkatan fadhl (keutamaan/kemuliaan), yaitu kecintaan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang mengandung konsekuensi meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, mengikuti sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar, dalam tingkah laku, adab (etika), ibadah-ibadah sunnah (anjuran), makan, minum, pakaian, pergaulan yang baik dengan keluarga, serta semua adab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sempurna dan akhlak beliau yang suci. Demikian juga memberikan perhatian (besar) untuk memahami sejarah dan perjalanan hidup beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, rasa senang dalam hati dengan mencintai, mengagungkan dan memuliakan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, senang mendengarkan ucapan (hadits) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan selalu (mendahulukan) ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ucapan selain beliau. Dan termasuk yang paling utama dalam tingkatan ini adalah meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sikap zuhud beliau terhadap dunia, mencukupkan diri dengan hidup seadanya (sederhana) di dunia, dan kecintaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada (balasan yang sempurna) di akhirat (kelak).”[14]
Keutamaan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Qs. al-Ahzaab: 21).
Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “teladan yang baik“, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla.[15]
Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[16]
Kemudian firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhir ayat ini mengisyaratkan satu faidah yang penting untuk direnungkan, yaitu keterikatan antara meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini berarti bahwa semangat dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pertanda kesempurnaan imannya.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas berkata, “Teladan yang baik (pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala) untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[17]
Penutup
Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita makna mencintai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya, dan jelaslah besarnya keutamaan dan kemuliaan mengikuti sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka mestinya, seorang muslim yang mengaku mencintai Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adalah orang yang paling semangat dalam mempelajari dan menerapkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sikap dan tingkah lakunya. Khususnya, di zaman sekarang ketika sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi asing dan jarang diamalkan di tengah-tengah kaum muslimin sendiri. Karena, seorang muslim yang mengamalkan satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dilupakan, dia akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.
Syaikh Muhammad bih Shalih al-’Utsaimin berkata, “Sesungguhnya, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakan kuat (besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan) sunnah dikalangan manusia.”[18]
Sebagai penutup, marilah kita camkan bersama nasihat Imam al-Khatiib al-Baghdadi[19] berikut ini, “Seyogyanya para penuntut ilmu hadits (pengikut manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah), (berusaha untuk) membedakan dirinya dari kebiasaan orang-orang awam dalam semua urusan (tingkah laku dan sikap)nya, dengan (berusaha) mengamalkan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semaksimal mungkin, dan membiasakan dirinya mengamalkan sunnah-sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Sesungguhnya, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (Qs. al-Ahzaab: 21).
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 15 Jumadal ula 1430 H
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A
Artikel www.muslim.or.id

JANGAN BERSEDIH

Mungkin Anda pernah membaca ayat ini: “Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita.” (At-Taubah:40) Lalu, bagaimana jika kita tetap merasa bersedih? Ini artinya ada sesuatu yang salah dalam hati kita. Dalam ayat diatas, kita tidak perlu bersedih sebab Allah beserta kita. Jika kita masih tetap saja bersedih, artinya kita belum merasakan kedekatan dengan Allah.
Yang dimaksud bersedih bukanlah berarti menangis. Menangis dalam rangka takut dan berharap kepada Allah malah dianjurkan supaya kita bebas dari api neraka. Bersedih yang dilarang adalah kesedihan akibat ketidaksabaran, tidak menerima takdir, dan menunjukan kelemahan diri.
Bersedih Itu Manusiawi
Para Nabi bersedih. Bahkan Rasulullah saw pun bersedih saat ditinggal oleh orang-orang mencintai dan dicintai beliau. Namun, para Nabi tidak berlebihan dalam sedih. Para Nabi segera bangkit dan kembali berjuang tanpa larut dalam kesedihan.
Bersedih Tidak Diajarkan
Bersedih (selain takut karena Allah) tidak diajarkan dalam agama. Bahkan kita banyak menemukan ayat maupun hadist yang melarang kita untuk bersedih.
Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS.At-Taubah:40)
Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS.Ali ‘Imran:139)
Rasulullah saw pun berdo’a untuk agar terhindar dari kesedihan,
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran; Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur. Tiada Tuhan kecuali Engkau.” (HR. Abu Dawud)
Lalu, bagaimana supaya kita tidak bersedih?
Jika kita melihat ayat dan hadits yang disebutkan diatas, setidaknya kita sudah memiliki dua solusi agar kita tidak terus berada dalam kesedihan.
Pertama: dari ayat diatas (At Taubah:40) bahwa cara menghilangkan kesedihan ialah dengan menyadari, mengetahui, dan mengingat bahwa Allah bersama kita. Jika kita sadar bahwa Allah bersama kita, apa yang perlu kita takutkan? Apa yang membuat kita sedih. Allah Maha Kuasa, Allah Maha Penyayang, Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi kita.
Saat kesedihan terus menimpa kita, mungkin kita lupa atau hilang kesadaran, bahwa Allah bersama kita. Untuk itulah kita diperintahkan untuk terus mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS Ar Ra’d:28)
Dari ayat ini, kita sudah mengetahui cara menghilangkan kesedihan, kecemasan, dan ketakutan yaitu bidzikrillah, dengan berdzikir mengangat Allah.
Saat saya mengalami kesedihan, ketakutan, atau kecemasan, ada tiga kalimat yang sering saya gunakan untuk berdzikir.
  1. Istighfar, memohon ampun kepada Allah.
  2. La haula wala quwwata illa billah (Tiada daya upaya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)
  3. Hasbunallaah wa ni’mal wakiil (Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baiknya Pelindung)
  4. Tentu saja, masih banyak kalimat-kalimat baik lainnya yang bisa Anda ucapkan
Alhamdulillah, kesedihan, kecemasan, dan ketakutan menjadi sirna setelah berdzikir dengan kalimat-kalimat diatas. Tentu saja, bukan saja dzikir di lisan tetapi harus sampai masuk ke hati.
Kedua: cara menghilangkan kesedihan ialah dengan berdo’a seperti dicontohkan oleh Rasulullah saw. Nabi pun meminta pertolongan Allah, apa lagi kita, jauh lebih membutuhkan pertolongan Allah. Maka berdo’alah.
Tentu saja, masih banyak cara supaya kita tidak bersedih. Saya bisa menulis buku tebal jika mau membahas semuanya. Namun, dengan dua cara utama diatas kita akan mendapatkan mamfaat yang luar biasa. Bersedih masih mungkin kita alami, tetapi tidak lagi bersedih yang berlebihan dan berlarut-larut. Karena hidup dan perjuangan harus berjalan terus.

Segeralah Bergerak

Mebayangkan suatu yang positf, tentu yang akan keluar dari bayangan untuk menjadi kenyataan adalah sesuatu yang postif pula, Sebagai contoh teknologi adanya listrik, Hasil dari Thomas Alfa Edison membayangkan saat malam dunia tetap terang. Begitu pula Graham Bell, bagaimana orang berkomunikasi tanpa harus bertatap muka, maka munculah telepon.  Sehingga bayangan-bayangan  sederhana para penemu itu mnjadi sangat berkembang bahkan menjadi  teknelogi yang sangat luar biasa kemanfaatannya, peralatan komputer, HP, pembangkit listrik dan sebagainya.
                 Tentu saat membayangkan bukan sekedar menggunakan pikiran, membayangkan pakai hati justru menjadi sangat tepat digunakan agar apa yang kita bayangkan hari ini benar-benar memberikan kemanfaatan, kepositifan bagi kita maupun orang lain, menjadi orang lain mudah dan puas.
                Memiliki kemampuan membayangkan harus selalu diolah dan dipraktekkan, bermula dari hal-hal yang sederhana dulu.  Kerjakan dengan berulang-ulang untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan optimal. Tentu saat mengerjakan berulang-ulang akan terjadi kesalahan. Anggap kesalahan adalah guru bagi keberhasilan, kesalahan menjadi teman untuk menjadi lebih baik, kesalahan menjadi  tantangan untuk mngerjakan lagi dan lagi tidak pernah menyerah terhadap keadaan. Selalu mencari penyebab kesalahan, dan diperbaiki dan dicoba terus menerus dengan kata lain tongkrongi.
                Tongkrongi sesuatu sehingga kita menjadi lebih trampil dan ahli. Dengan cara memberikan waktu yang lebih dari biasanya, mencurakan tenaga dan pikiran untuk mengerjakan, sehingga orang lain melihat kita telah memiliki kemampuan dan kekhususan dalam sesuatu hal. Sehingga kita diangga expert dan memiliki kompetensi dalam bidang tertentu. Jati diri kita menjadi muncul dan makin dipercaya oleh orang lain.
                Membuat sesuatu dari tidak ada menjadi ada tentu akan membuat orang lain menjadi  terperangah atas  perilaku kita. Apalagi sesuatu hal yang kita kerjakan itu mampu memberikan sesuatu yang lain, unik, berbeda dan terlebuh lagi memiliki nilai guna yang sangat tinggi maka itulah sebetulnya keberhasilan kita. Keberhasilan bulan dilihat dari sis materi  atau fisik namun justru dari sisi kepuasan atas diri pribadi maupun diri orang lain.
                Berhubungan atau betransaksi dengan pihak lain dalam suatu pekerjaan kita, pasti akan terjadi,peningkatan pekerjaan atau usaha yang kita lakukan saat ini tentu dilihat dari tingkat kepuasan konsumen yang kita layani. Melayani pihak lain haruslah puas seperti halnya kita ingin dilayani. Tentu itu bukan perbuatan yang main-main atau iseng, justru itu perbuatan yang harus kita rencanakan, tindakan yang betul-betul kita pikirkan, dan tindakan yang kita yakini itu yang terbaik.
                Maka dari itu jadilah kita bagian dari orang yang mampu menuangkan tenaga, pikiran dan waktu untuk menjadi lebih baik dan berhasil. Orang sukses bukan dilihat dari popularitas, kekayaan ataupun kesuksesan. Orang yang sukses adalah orang yang mau segera bergerak dan mampu berjuang menjadi  lebih baik lagi walaupun tindakan itu dimulai dari yang sederhana atau kecil, mengerjakan secara terus menerus dan mau mengulang  kesalahan berkali-kali dan untuk membuat pihsk lsin terperangah dengan hasil kerja kita tentu dikerjakan dengan sesuatu yang unik, berbeda dan memiliki nilai kemanfaatan yang tinggi. Semoga Allah Maha Kehendak atas niat kita yang tulus.

15 Nov 2010

Di saat Fitnah Merajalela

Allah ta’ala berfirman,
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Berhati-hatilah kalian dari suatu ‘fitnah’ yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim di antara kalian saja. Dan ketahuilah, sesungguhnya Allah maha keras hukuman-Nya.” (QS. al-Anfaal: 25)
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata,
يقول تعالى ذكره للمؤمنين به وبرسوله: “اتقوا”، أيها المؤمنون “فتنة”، يقول: اختبارًا من الله يختبركم، وبلاء يبتليكم “لا تصيبن”، هذه الفتنة التي حذرتكموها “الذين ظلموا”، وهم الذين فعلوا ما ليس لهم فعله، إما إجْرام أصابوها، وذنوب بينهم وبين الله ركبوها. يحذرهم جل ثناؤه أن يركبوا له معصية، أو يأتوا مأثمًا يستحقون بذلك منه عقوبة
“Allah ta’ala dzikruhu menyatakan kepada orang-orang yang beriman kepada-Nya dan kepada rasul-Nya: Hati-hatilah kalian, wahai orang-orang yang beriman, akan suatu fitnah. Maksudnya adalah suatu cobaan dari Allah untuk menguji kalian dan datangnya musibah yang menjadi cobaan untuk kalian. Yang itu tidaklah menimpa –maksudnya adalah fitnah yang diperingatkan kepada kalian- khusus kepada orang-orang yang zalim. Yang dimaksud dengan orang zalim adalah orang-orang yang melakukan sesuatu yang tidak boleh mereka lakukan, baik dengan bentuk melakukan kejahatan, atau dengan berbuat kemaksiatan antara diri mereka dengan Allah. Allah jalla tsana’uhu memperingatkan mereka agar tidak tenggelam dalam kedurhakaan kepada-Nya atau melakukan dosa yang membuat mereka berhak untuk mendapatkan hukuman dari-Nya.” (Jami’ al-Bayan [13/473] asy-Syamilah)
al-Baghawi rahimahullah berkata,
وقال ابن زيد: أراد بالفتنة افتراق الكلمة ومخالفة بعضهم بعضا
“Ibnu Zaid berkata: Yang dimaksud dengan fitnah adalah perpecah-belahan dan perselisihan yang terjadi di antara mereka.” (Ma’alim at-Tanzil [3/346] asy-Syamilah)
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,
قال ابن أبي طلحة عن ابن عباس : في هذه الآية ، أمر الله المؤمنين أن لا يُقِرُّوا المنكر بين أظهرهم ، فيعمهم الله بالعذاب . وقال مجاهد : هذه الآية لكم أيضاً
“Ibnu Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai makna ayat ini, beliau berkata: ‘Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman –semua- agar mereka tidak membiarkan kemungkaran merajalela di tengah-tengah mereka karena hal itu akan menyebabkan Allah meratakan azab kepada mereka’. Mujahid mengatakan: ‘Ayat ini juga berlaku bagi kalian.’.” (Zaad al-Masiir [3/98] asy-Syamilah)
Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعِبَادَةُ فِي الْهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ
“Beribadah di saat harj -berkecamuknya fitnah- laksana berhijrah kepadaku.” (HR. Muslim)
an-Nawawi rahimahullah berkata,
الْمُرَاد بِالْهَرْجِ هُنَا الْفِتْنَة وَاخْتِلَاط أُمُور النَّاس . وَسَبَب كَثْرَة فَضْل الْعِبَادَة فِيهِ أَنَّ النَّاس يَغْفُلُونَ عَنْهَا ، وَيَشْتَغِلُونَ عَنْهَا ، وَلَا يَتَفَرَّغ لَهَا إِلَّا أَفْرَاد .
“Yang dimaksud dengan harj di sini adalah fitnah dan kesimpangsiuran urusan manusia. Sebab banyaknya keutamaan beribadah di saat itu adalah karena manusia lalai darinya dan disibukkan dengan perkara lain sehingga meninggalkannya serta tidak ada yang bersungguh-sungguh melakukannya kecuali beberapa gelintir orang saja.” (al-Minhaj [9/339] asy-Syamilah)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,
ووجه تمثيله بالهجرة أن الزمن الأول كان الناس يفرون فيه من دار الكفر وأهله إلى دار الإيمان وأهله فإذا وقعت الفتن تعين على المرء أن يفر بدينه من الفتنة إلى العبادة ويهجر أولئك القوم وتلك الحالة وهو أحد أقسام الهجرة
“Sisi kemiripan hal itu dengan hijrah adalah di masa yang pertama -masa Nabi- maka umat manusia dahulu meninggalkan negeri kufur dan penduduknya menuju negeri iman dan penduduknya. Maka apabila terjadi fitnah wajib di saat itu bagi setiap orang untuk pergi membawa agamanya dari gejolak fitnah menuju ketaatan beribadah serta menjauhi kelompok orang-orang yang larut dalam fitnah itu serta keadaan yang buruk itu. Sementara hal itu adalah termasuk salah satu kategori hijrah.” (al-Kaba’ir, hal 202. Lihat juga perkataan Ibnul Arabi yang dinukil dalam Faidh al-Qadir [4/490] asy-Syamilah)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menjelaskan bahwa hakekat ibadah itu adalah, “Menjalankan ketaatan kepada Allah dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.” (lihat Syarh al-Jami’ li ‘Ibadatillahi Wahdah, hal. 16). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga telah menjelaskan dengan ungkapannya yang sangat populer bahwa ibadah itu adalah ‘segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah, berupa ucapan maupun perbuatan, yang lahir/tampak maupun yang batin/tersembunyi.’ (lihat kitab beliau al-‘Ubudiyah). Dari sini kita mengetahui bahwa standar ibadah adalah kecintaan Allah. Semakin dicintai suatu perkara/amalan di sisi Allah maka semakin tinggi kedudukan amalan tersebut di dalam agama yang mulia ini.
Dari sini kita bisa memetik pelajaran –wallahu a’lam- bahwa di tengah berkecamuknya fitnah di antara kaum muslimin -dalam bentuk apa saja- maka yang wajib bagi mereka lakukan pertama kali adalah kembali kepada Allah dan merenungkan -berdasarkan dalil-dalil syari’at- mengenai tindakan apakah yang paling Allah cintai bagi mereka ketika fitnah itu telah melanda. Bukan dengan kembali kepada hawa nafsu dan perasaan mereka. Ingatlah, bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itulah hawa nafsu, meskipun ia dibungkus dengan ayat-ayat dan hadits-hadits!
Di tengah tersebarnya berita-berita tidak jelas -apalagi terkait dengan pribadi para ulama ataupun pemerintah-, maka wajib bagi para pemuda untuk menahan lisan dan jari-jari mereka agar tidak berbicara ataupun menyebarkan tulisan mengatasnamakan agama yang mulia ini kecuali dengan dalil dan berlandaskan berita yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ta’ala. Ingatlah, nasehat Muhammad bin Sirin rahimahullah yang dinukil oleh Imam Muslim rahimahullah dalam mukadimah shahihnya, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” Semoga Allah merahmati orang yang mengetahui kadar dirinya…
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

14 Nov 2010

Puasa Arofah Ikut Siapa?

Permasalahan ini sering muncul dari berbagai pihak ketika menghadapi hari Arofah. Ketika para jama’ah haji sudah wukuf tanggal 9 Dzulhijah di Saudi Arabia, padahal di Indonesia masih tanggal 8 Dzulhijah, mana yang harus diikuti dalam puasa Arofah? Apakah ikut waktu jama’ah haji wukuf atau ikut penanggalan Hijriyah di negeri ini sehingga puasa Arofah tidak bertepatan dengan wukuf di Arofah?
Syaikh Muhammad bin Sholih ‘Utsaimin pernah diajukan pertanyaan:
Kami khususnya dalam puasa Ramadhan mubarok dan puasa hari Arofah, di antara saudara-saudara kami di sini terpecah menjadi tiga pendapat.
Pendapat pertama: kami berpuasa bersama Saudi Arabia dan juga berhari Raya bersama Saudi Arabia.
Pendapat kedua: kami berpuasa bersama negeri kami tinggal dan juga berhari raya bersama negeri kami.
Pendapat ketiga: kami berpuasa Ramadhan bersama negeri kami tinggal, namun untuk puasa Arofah kami mengikuti Saudi Arabia.
Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai puasa bulan Ramadhan dan puasa Hari Arofah. Kami memberikan sedikit informasi bahwa lima tahun belakangan ini, kami tidak pernah bersamaan dengan Saudi Arabia ketika melaksanakan puasa Ramadhan dan puasa Arofah. Biasanya kami di negeri ini memulai puasa Ramadhan dan puasa Arofah setelah pengumuman di Saudi Arabia. Kami biasa telat satu atau dua hari dari Saudi, bahkan terkadang sampai tiga hari. Semoga Allah senantiasa menjaga antum.
Jawaban:
Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat dalam masalah ru’yah hilal apabila di satu negeri kaum muslimin telah melihat hilal sedangkan negeri lain belum melihatnya. Apakah kaum muslimin di negeri lain juga mengikuti hilal tersebut ataukah hilal tersebut hanya berlaku bagi negeri yang melihatnya dan negeri yang satu matholi’ (tempat terbit hilal) dengannya.
Pendapat yang lebih kuat adalah kembali pada ru’yah hilal di negeri setempat. Jika dua negeri masih satu matholi’ hilal, maka keduanya dianggap sama dalam hilal. Jika di salah satu negeri yang satu matholi’ tadi telah melihat hilal, maka hilalnya berlaku untuk negeri tetangganya tadi. Adapun jika beda matholi’ hilal, maka setiap negeri memiliki hukum masing-masing. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Pendapat inilah yang lebih bersesuaian dengan Al Qur’an, As Sunnah dan qiyas.
Dalil dari Al Qur’an yaitu firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185). Dipahami dari ayat ini, barang siapa yang tidak melihat hilal, maka ia tidak diharuskan untuk puasa.
Adapun dalil dari As Sunnah, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا ، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا
Jika kalian melihat hilal Ramadhan, maka berpuasalah. Jika kalian melihat hilal Syawal, maka berhari rayalah.” (HR. Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 1080). Dipahami dari hadits ini, siapa saja yang tidak menyaksikan hilal, maka ia tidak punya kewajiban puasa dan tidak punya keharusan untuk berhari raya.
Adapun dalil qiyas, mulai berpuasa dan berbuka puasa hanya berlaku untuk negeri itu sendiri dan negeri yang terbit dan tenggelam mataharinya sama. Ini adalah hal yang disepakati. Engkau dapat saksikan bahwa kaum muslimin di negeri timur sana -yaitu Asia-, mulai berpuasa sebelum kaum muslimin yang berada di sebelah barat dunia, begitu pula dengan buka puasanya. Hal ini terjadi karena fajar di negeri timur terbit lebih dulu dari negeri barat. Begitu pula dengan tenggelamnya matahari lebih dulu di negeri timur daripada negeri barat. Jika bisa terjadi perbedaan sehari-hari dalam hal mulai puasa dan berbuka puasa, maka begitu pula hal ini bisa terjadi dalam hal mulai berpuasa di awal bulan dan mulai berhari raya. Keduanya tidak ada bedanya.
Akan tetapi yang perlu jadi perhatian, jika dua negeri yang sama dalam matholi’ (tempat terbitnya hilal), telah diputuskan oleh masing-masing penguasa untuk mulai puasa atau berhari raya, maka wajib mengikuti keputusan penguasa di negeri masing-masing. Masalah ini adalah masalah khilafiyah, sehingga keputusan penguasalah yang akan menyelesaikan perselisihan yang ada.
Berdasarkan hal ini, hendaklah kalian berpuasa dan berhari raya sebagaimana puasa dan hari raya yang dilakukan di negeri kalian (yaitu mengikuti keputusan penguasa). Meskipun memulai puasa atau berpuasa berbeda dengan negeri lainnya. Begitu pula dalam masalah puasa Arofah, hendaklah kalian mengikuti penentuan hilal di negeri kalian.
[Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 19/24-25, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin juga mendapat pertanyaan sebagai berikut, “Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arofah disebabkan perbedaan mathla’ (tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan daerah. Apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali ataukah mengikuti ru’yah Haromain (dua tanah suci)?”
Syaikh rahimahullah menjawab, “Permasalahan ini adalah turunan dari perselisihan ulama apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Pendapat yang benar, hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah.
Misalnya di Makkah terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sedangkan di negara lain, hilal Dzulhijjah telah terlihat sehari sebelum ru’yah Makkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah adalah tanggal 10 Dzulhijjah di negara tersebut. Tidak boleh bagi penduduk Negara tersebut untuk berpuasa Arofah pada hari ini karena hari ini adalah hari Iedul Adha di negara mereka.
Demikian pula, jika kemunculan hilal Dzulhijjah di negara itu selang satu hari setelah ru’yah di Makkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah itu baru tanggal 8 Dzulhijjah di negara tersebut. Penduduk negara tersebut berpuasa Arofah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka meski hari tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah.
Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal Ramadhan hendaklah kalian berpuasa dan jika kalian melihat hilal Syawal hendaknya kalian berhari raya” (HR Bukhari dan Muslim).
Orang-orang yang di daerah mereka hilal tidak terlihat maka mereka tidak termasuk orang yang melihatnya.
Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar serta tenggelamnya matahari itu mengikuti daerahnya masing-masing, demikian pula penetapan bulan itu sebagaimana penetapan waktu harian (yaitu mengikuti daerahnya masing-masing)”.
[Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20/47-48, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H]
Demikian penjelasan dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Intinya, kita tetap berpuasa Ramadhan, berhari raya dan berpuasa Arofah sesuai dengan penetapan hilal yang ada di negeri ini, walaupun nantinya berbeda dengan puasa, hari raya atau wukuf di Saudi Arabia.
Hanya Allah yang memberi taufik.

Artikel www.muslim.or.id

10 Nov 2010

SIKAP MUSLIM DALAM MENGHADAPI MUSIBAH

Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya, amiin.
Saudaraku! Ucapkanlah:
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا
“Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan kamipun kepada-Nya akan kembali. Ya Allah karuniakanlah kami pahala atas ketabahan kami menerima musibah ini dan gantikanlah kami dengan yang lebih baik dibanding apa yang telah sirna karena musibah tersebut.”
Kembali negara kita dirundung musibah. Saudara-saudara kita umat Islam di negeri kita tercinta kembali mendapat cobaan. Gempa kembali menghancurkan bangunan, perumahan dan merenggut jiwa sebagian saudara kita dan melukai tubuh sebagian lainnya.
Jangan berkecil hati! Tetaplah berbaik sangka kepada Allah Ta’ala, dan tabahkanlah hatimu. Percayalah, bila anda tabah menerima musibah ini, tanpa keluh kesah, dan tetap berbaik sangka kepada suratan takdir ilahi ini, niscaya Allah memberikan jalan keluar terbaik bagi kita dan negeri kita. Bukan hanya jalan keluar yang terbaik, bahkan musibah ini berubah menjadi nikmat.
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ   {155} الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ {156} أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ . البقرة 155-157
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Mereka itulah yang mendapatkan pujian dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. Al Baqarah: 155-157)
Saudaraku! Ummu Salamah radhiallahu ‘anha mengisahkan: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa ditimpa musibah, selanjutnya ia berkata:
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا
“Niscaya Allah melimpahkan pahala kepadanya dalam musibah yang menimpanya itu dan menggantikannya dengan yang lebih baik dari apa yang telah sirna darinya.” Dan tatkala suamiku Abu Salamah meninggal dunia, akupun mengucapkan ucapan itu, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ternyata Allah menggantikanku dengan yang lebih baik dari Abu Salamah, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Riwayat Al Bukhari)
Benar, setelah masa ‘iddah Ummu Salamah berlalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus utusan untuk melamar Ummu Salamah untuk dijadikan sebagai istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allahu Akbar! Benar-benar pengganti yang lebih baik, dan bahkan tiada yang lebih baik darinya. Betapa tidak, mendapat kehormatan menjadi pendamping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidupnya di dunia, menjadi belahan jiwanya di dunia. Dan sudah barang tentu menjadi pendamping beliau di surga, di sisi Allah Ta’ala. Benar-benar beliau Ummu Salamah radhiallahu ‘anha mendapat karunia kebahagian di dunia dan akhirat.
Apa yang dialami oleh Ummu Salamah ini hanyalah contoh nyata dari apa yang dijanjikan Allah Ta’ala kepada orang-orang yang bersabar.
Dan bila saudara bertanya: Bila demikian adanya, maka apa yang mungkin kita peroleh sebagai ganti dari apa yang menimpa kita seklarang ini; rumah rusak, harta benda hancur berantakan, kerabat luka-luka dan mungkin meninggal dunia?
Jangan kawatir saudaraku! Ganti yang lebih besar telah Allah siapkan untuk anda, bila anda benar-benar bersabar menjalani musibah ini. Anda ingin tahu apa balasan yang telah menanti anda? Simaklah jawabannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أُمَّتِى هَذِهِ أُمَّةٌ مَرْحُومَةٌ لَيْسَ عَلَيْهَا عَذَابٌ فِى الآخِرَةِ عَذَابُهَا فِى الدُّنْيَا الْفِتَنُ وَالزَّلاَزِلُ وَالْقَتْلُ. رواه أحمد وأبو داود وصححه الحاكم ووافقه الألباني
“Ummatku ini adalah ummat yang dirahmati, mereka semua tidak akan disiksa secara menyeluruh di akhirat, siksa mereka hanyalah terjadi di dunia, berupa berbagai kekacauan, gempa bumi dan pertumpahan darah yang menimpa mereka.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan dinyatakan sebagaihadits shahih oleh Al Hakim dan disetujui oleh Al Albani)
Saudaraku! Berbagai musibah yang silih berganti menimpa negeri kita, adalah sebagai tebusan atas berbagai kemaksiatan yang akhir-akhir ini merajalela di negeri kita. Pornografi, pornoaksi, riba, narkoba, tidak membayar zakat, dan memakan harta haram.
Mungkin anda akan berkata: Mengapa anda kok begitu pesimis dan berburuk sangka terhadap masyarakat dan negara anda sendiri?
Saudaraku! Ketahuilah bahwa saya tidak sedang berburuk sangka dan pesimis terhadap negeri dan masyarakat saya sendiri. Coba saudaraku sekalian membandingkan keadaan negeri kita sekitar 20 tahun silam dengan negeri kita sekarang. Jauh berbeda bukan?
Walaupun hati ini pilu, seakan hancur tersayat-sayat mengikuti berita musibah yang demikian bertubi-tubi dan silih berganti. Akan saya masih dapat menyaksikan sinar harapan yang tetap bercahaya bersama terbitnya mentari di setiap pagi hari.
Betapa tidak, walau kemaksiatan dan kemungkaran telah begitu meraja lela, akan tetapi Allah Ta’ala masih sudi menerima tebusan dari kita yang terwujud dalam bencana alam.
Andai Allah Ta’ala talah menutup pintu harapan dari negeri kita, niscaya Allah akan menunda semua musibah ini hingga di akhirat, dan hanya siksa nerakalah yang menanti kita. Mungkinkah anda mengharapkan kemungkinan ini yang menimpa negeri dan masyarakat anda?
Inilah sebagian dari hikmah yang dapat kita petik dari sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang senantiasa memuji Allah, walaupun ditimpa kesusahan.
Sahabat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengisahkan: Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bila mendapatkan hal yang beliau sukai, beliau mengucapkan:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
“Segala puji hanya milik Allah Yang atas karunia-Nya segala kebaikan dapat terwujud.”
Dan bila mendapatkan hal yang tidak beliau sukai, beliau berkata:
الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ
“Segala puji hanya milik Allah atas segala keadaan yang menimpa.” (Riwayat Ibnu Majah, Al Hakim dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)
Semoga bencana yang bertubi-tubi dan musibah yang silih berganti ini telah mengobarkan semangat dalam jiwa saudara sekalian untuk berjuang merintis perubahan. Hanya dengan perjuangan saudara-saudara sekalianlah negeri kita akan kembali makmur dan diselimuti oleh kemakmuran, kerahmatan dan kedamaian.
ذَلِكَ بِأَنَّ اللّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمْ وَأَنَّ اللّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. الأنفال 53
“Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah suatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Pendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al Anfaal: 53)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الْمُنْكَرَ لاَ يُغَيِّرُونَهُ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابِهِ. رواه أحمد وابن ماجة وصححه الألباني
“Sesungguhnya masyarakat bila mengetahui suatu kemungkaran lalu mereka tidak merubahnya, maka tidak lama lagi Allah akan menimpakan hukuman kepada mereka semua.” (Riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)
Saudaraku! Kunci perubahan negeri anda ada di tangan anda, bagaimana dan kapankah anda menggunakan kunci itu, sehingga negeri anda menjadi negeri yang penuh dengan kerahmatan dan kedamaiaan?
Kapan lagi bila bukan sejak sekarang? Tegakkanlah nahi mungkar dan sebarkanlah yang ma’ruf, niscaya bencana dan musibah yang selama ini setiap menemani negeri kita akan menyingkir.
Penulis:  Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, MA   hafidzohullah
Untuk melengkapi khasanah keilmuwan  terhadap sikap kita dalam menghadapi musibah simak kajian  yang sangat bermanfaat berikut:
Tema          :  Sikap Muslim Dalam Menghadapi Musibah
Pemateri   : Ustadz Fariq Bin Qasim Anuz hafidzohullah
Semoga bermanfaat dan selamat menyimak

8 Nov 2010

SEBAB SEBAB SU`UL KHATIMAH

Seorang muslim yang beriman dengan betul-betul pasti akan takut mati su’ul khatimah. Karenanya, dia berusaha mencari tahu sebab-sebab yang bisa melindunginya dari kondisi tersebut, lalu berlindung di belakangnya.
Dalam kenyataan, ada sebagian orang terlihat sebagai seorang muslim yang rajin ibadah, namun akhir hayatnya ditutup dengan su’ul khatimah, Ya Allah kami berlindung kepada-Mu dari kondisi ini. Berikut ini beberapa sebab yang bisa menyebabkan seseorang meninggal su’ul khatimah:

Pertama, rusaknya aqidah walaupun disertai dengan kezuhudan dan keshalihan

Jika seseorang memiliki aqidah yang rusak dan meyakininya, walau dia tigak ragu bahwa dia salah dalam meyakininya, maka akan terkuak kebatilan keyakinanya ketika sakaratul maut. Walaupun dalam dirinya terdapat keyakinan yang hak dan yang batil. Tersingkapnya kebatilan akidahnya menjadi sebab hilangnya sisa akidahnya yang lain. Sesungguhnya keluarnya nyawa orang tersebut dalam kondisi ini sebelum mengecap kebenaran dan kembali kepada pokok iman, ditutup dengan su’ul khatimah dan meninggalkan dunia tanpa iman. Dia termasuk di antara orang-orang yang disebutkan oleh Allah Ta’ala,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا * الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104)
Siapa saja yang meyakini akidah yang berseberangan dengan akidah yang shahih, baik atas penalarannya sendiri atau mengambil dari orang yang berakidah batil, maka tetap berada dalam lingkup bahaya. Kezuhudan dan keshalihan tidak sedikiitpun membawa manfaat baginya. Dan sesungguhnya yang bisa mendatangkan kebaikan pada dirinya adalah akidah yang benar, yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam. Karena akidah dalam Islam tidak dianggap kecuali yang berasal dari keduanya.

Kedua, terus menerus bermaksiat

Orang yang terbiasa melakukan kemaksiatan-kemaksiatan maka akan terekam dalam batinnya. Dan semua tindakan yang terekam selama hidupnya akan teringat kembali saat kematian menjemput.
Jika kecenderungannya kepada ketaatan lebih dominan, maka yang akan terngiang dalam benaknya ketika ajal datang adalah amal-amal ketaatan. Sebaliknya, jika kecenderungannya kepada perbuatan maksiat lebih banyak, maka yang akan muncul dalam ingatannya ketika maut menjemput adalah kemaksiatan-kemaksiatan. Dan boleh jadi, keinginan berbuat kemaksiatan itu mendominasi dirinya ketika kematian menghampirinya, sehingga hatinya kecanduan dengannya. Akibatnya, muncul hijab antara dirinya dengan Rabb-nya dan menjadi sebab kesengsaraannya di akhirat. Sebagian ulama salaf berkata,
الْمَعَاصِيْ بَرِيْدُ الْكُفْرِ كَمَا أَنَّ الْقُبْلَةَ بَرِيْدُ الْجِمَاعِ وَالْغِنَاءَ بَرِيْدُ الزِّنَا وَالنَّظَرَ بَرِيْدُ الْعِشْقِ وَالْمَرَضَ بَرِيْدُ الْمَوْتِ
“Maksiat adalah pengantar menuju kekafiran sebagaimana halnya ciuman pengantar menuju jimak, nyanyian adalah pengantar menuju zina, pandangan adalah pengantar menuju kerinduan, dan sakit pengantar menuju kematian”. (Lihat Al-Jawab Al-Kafi (hal. 33) karya Ibnul Qoyyim)
Dan siapa yang tidak pernah melakukan kemaksiatan atau pernah melakukannya lalu bertaubat, maka dia jauh dari bahaya ini. Sedangkan orang yang banyak melakukan dosa sehingga jumlahnya lebih banyak dari ketaatannya, dan dia tidak bertaubat darinya bahkan terus menerus melakukannya, maka ini akan menciderai dirinya. Karena banyaknya goresan dosa tersebut menyebabkan ukiran dalam hatinya, sehingga dia kecanduan terhadapnya. Maka ketika nyawanya dicabut dalam kondisi itu, maka itu menjadi sebab akhir hidupnya yang buruk (su’ul khatimah).
Contoh mudah dari hal ini, seseorang memimpikan kondisi yang dijalani selama hidupnya. Sehingga orang yang menghabiskan waktunya untuk berkecimpung dengan ilmu, akan memimpikan kondisi-kondisi yang berkaitan dengan ilmu dan ulama. Seseorang yang menghabiskan waktunya dalam menjahit, maka dia akan memimpikan jahitan, para penjahit dan pelanggan. Kenapa seperti itu? Karena tidak akan hadir dalam mimpi seseorang kecuali yang sesuatu yang memiliki kesan dalam batinnya karena seringnya berkecimpung dengan hal itu. Sedangkan kematian, walaupun tingkatannya di atas tidur, tetapi kondisi yang mengawalinya hampir sama. Maka yang sering dilakukan akan diingatnya ketika maut datang, akan terkenang dalam hatinya dan cenderung kepadanya. Ketika ruhnya dicabut dalam kondisi itu, maka dia telah mengakhiri hidupnya dengan su’ul khatimah.
Imam al-Dzahabi berkata dalam al-Kabaair, …. Mujahid berkata, “Tidak ada satu orang yang meninggal kecuali terbayang olehnya teman-temannya yang sering duduk bersamanya, sehingga datang seseorang yang biasa bermain catur bersamanya. ..Lalu dikatakan padanya, “Ucapkan Laa Ilaaha Illallaah”, maka dia menjawab, “Sekak” lalu dia mati. Maka yang banyak terucap oleh lisannya adalah yang biasa dikerjakanya saat bermain catur. Maka ucapannya Sekak adalah pengganti dari kalimat tauhid.
Dan datang lagi seorang laki-laki kepada laki-laki lain yang biasa menenggak minuman keras. Dia mendekatinya, lalu mulai mentalkinkan (menuntunkan)-nya dengan kalimat syahadat. Maka dia berkata kepada orang yang menjenguknya tadi, “Minum dan tuangkan untukku”, lalu dia mati. Laa Haula wa laa Quwwata Illaa Billaahi al-‘Aliyyi al-‘Adzim.” (Selesai)

Ketiga, sengaja tidak istiqamah (sengaja menyimpang)

Jika seseorang sebelumnya istiqamah, lalu berubah kondisinya dan meninggalkan keadaan tadi, maka hal itu menjadi sebab dia mengalami su’ul khatimah. Contohya: Bal’am bin Ba’ur yang telah Allah berikan kepadanya ayat-ayat-Nya, lalu dia sengaja melepaskan diri darinya dikarenakan cenderung kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya yang rendah, akhirnya dia menjadi orang yang sesat dan celaka.
Contoh lainnya adalah pendeta Barshisha, seorang ahli ibadah dari kalangan Bani Israil yang dibujuk syetan, “Kufurlah”. Ketika telah kufur maka syetan berkata, “Sesungguhnya aku takut kepada Rabb, Tuhan semesta alam.” Dia telah ditipu syetan untuk kufur. Maka ketika dia telah kafir, syetan berlepas diri darinya karena takut akan menyertainya dalam adzab. Tapi hal itu tidak bermanfaat baginya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَكَانَ عَاقِبَتَهُمَا أَنَّهُمَا فِي النَّارِ خَالِدَيْنِ فِيهَا وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ
“Maka adalah kesudahan keduanya, bahwa sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya. Demikianlah balasan orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Hasyar: 17)

Keempat, lemah iman

Jika iman seseorang lemah, maka lemah pula rasa cintanya kepada Allah Ta’ala. Sebaliknya, cintanya kepada dunia menguat dalam hatinya sampai menguasai dirinya. Sehingga tidak tersisa lagi tempat untuk mencintai Allah Ta’ala. Akibatnya, jiwanya tidak lagi merasakan terpengaruh atas penyimpangan dirinya. Larangan berbuat maksiat tidak lagi berguna. Anjuran untuk taat tidak lagi memiliki tempat dalam dirinya. Sehingga dia terjerembab dalam kubangan syahwat dan melakukan berbagai perbuatan maksiat. Kegelapan dosa telah menutupi hatinya. Sampai-sampai cahaya iman selalu dipadamkan olehnya. Ketika datang sakaratul maut, maka kecintaan kepada Allah melemah dalam hatinya ketika dia tahu akan berpisah dengan dunia yang dicintainya. Sedangkan kecintaannya kepada dunia mengalahkan dirinya sehingga berat meninggalkannya.
Tingkatan Suul Khatimah
Su’ul khatimah memiliki dua tingkatan:
  1. Sangat berbahaya. Yaitu muncul keraguan dan penentangan ketika sakaratul maut dan kengeriannya datang. Sehingga nyawanya dicabut dalam kondisi demikian. Maka hal itu menjadi penghalang antara dirinya dengan Allah Ta’ala untuk selama-lamanya. Hal itu menjadikannya kekal dalam siksa yang abadi.
  2. Tingkatan di bawah itu, tapi masih berbahaya. Ketika sakaratul maut datang, dalam hatinya didominasi kecintaan kepada dunia dan kesenangannya. Hal itu tergambar jelas dalam benaknya sehingga tidak terpikir olehnya selain dari itu. Maka kondisi tercabutnya nyawa semacam ini sangatlah menghawatirkan. Karena seseorang mati dalam kondisi yang biasa dia jalani, maka hal itu menjadi kerugian yang besar.
Jika pokok iman seseorang dan cintanya kepada Allah Ta’ala telah memenuhi hatinya dalam waktu cukup lama yang dikuatkan dengan amal-amal shalih, maka iman dalam hatinya tergolong kuat, -Allah Mahatahu tentang kadar kuatnya-, maka ketika dia harus dimasukkan dalam neraka untuk membersihkan dosa-dosanya, dia akan dikeluarkan darinya dalam waktu dekat. Dan jika imannya ada di bawah itu, maka tinggalnya di neraka lebih lama lagi. Tetapi jika iman dalam hati hanya sebesar biji, maka pasti dikeluarkan dari neraka walaupun setelah beribu-ribu tahun.
Setiap orang yang memiliki sedikit saja keyakinan terhadap Allah dalam sifat dan perbuatan-Nya yang menyimpang dari akidah yang benar, baik karena taklid atau hasil pencariannya sendiri, maka dia dalam kondisi yang membahayakan. Kezuhudan dan keshalihannya tidak cukup untuk menghilangkan bencana ini. Bahkan tidak bisa menyelamatkan darinya kecuali keyakinan yang benar, yang sesuai dengan kitabullah dan sunnah muthahharah.
Semoga Allah melimpahkan kepada kita husnul khatimah. Menjadikan kuburan kita sebagai  bagian dari taman-taman surga dengan ampunan, rahmat, dan kemurahan-Nya. [PurWD/voa-islam.com]

3 Nov 2010

PEMBAGIAN KAUM KAFIR

Kaum kuffar terbagi ke dalam beberapa golongan, setiap golongan memilki hukum tersendiri.
Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Dahulu kaum musyrikin terbagi menjadi dua golongan di hadapan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin. Diantara mereka ada golongan yang dinamakan ahlul harb, nabi memerangi mereka dan mereka pun memerangi beliau. Ada golongan yang disebut ahlul ahd, nabi tidak memerangi mereka, dan mereka tidak memerangi beliau.”
Ibnul Qayyim mengatakan, “Kaum kuffar terbagi menjadi ahlul harb dan ahlul ahd. Dan ahlul ahd ini terbagi menjadi tiga golongan, ahlu dzimmah, ahlu hudnah, ahlu aman. Para ahli fiqih telah membuat pembahasan tersendiri untuk setiap golongan, ada bab Al Hudnah,bab Al Aman, bab ‘Aqdudz Dzimmah.
Lafadz “adz dzimmah” dan “al ‘ahd” pada asalnya mencakup tiga jenis orang kafir di atas. Demikian pulan lafadz “ash shulh”, sehingga lafadz “adz dzimah” sejenis dengan lafadz “al ‘ahd” dan “al ‘aqd”. Kemudian beliau berkata, “Demikian juga lafadz “ash shulh” merupakan lafadz yang umum dan mencakup seluruh perjanjian, baik yang diadakan oleh sesama kaum muslimin, maupun yang diadakan dengan kaum kuffar. Namun, yang kerap digunakan oleh para ahli fiqih, ahludz dzimmah merupakan istilah untuk orang kafir yang menunaikan jizyah, sehingga mereka mendapatkan perlindungan dari kaum muslimin sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Mereka mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin untuk memberlakukan hukum Allah dan rasul-Nya terhadap diri mereka dikarenakan mereka menetap di negeri yang memberlakukan hukum Allah dan rasul-Nya.
Golongan tersebut berbeda dengan ahlul hudnah, golongan ini mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin, baik perjanjian itu megandung kompensasi materi ataupun tidak, sementara mereka berada di negeri mereka masing-masing. Hukum islam tidak diberlakukan pada mereka sebagaimana ahludz dzimmah, namun mereka berkewajiban untuk tidak memerangi kaum muslimin. Golongan inilah yang dinamakan ahlul ‘ahd, ahlush shulh atau ahlul hudnah.
Adapun al mustakman adalah golongan yang mendatangi negeri kaum muslimin namun tidak menetap disana. Golongan ini terbagi menjadi empat jenis, yaitu
Para utusan Para pedagang Orang-orang yang meminta perlindungan kepada kaum muslimin sehingga punya kesempatan untuk mempelajari Islam dan al qur-an kepada mereka. Jika mereka ingin, mereka dapat masuk islam, jika tidak mereka pun dikembalikan ke negara mereka masing-masing. Orang-orang yang berkepentingan di negeri kaum muslimin, seperti orang kafir yang berkunjung (baca:turis, ed) dan semisalnya. Golongan ini tidak diperangi dan dibunuh serta tidak diberlakukan jizyah terhadap mereka. Orang yang meminta perlindungan dari golongan ini ditawari untuk masuk islam, apabila dia menerimanya itulah yang diinginkan, namun jika dia hendak kembali ke negeri asalnya, maka dirinya pun diantarkan menuju ke sana dan islam tidak ditawarkan kembali kepadanya sebelum sampai di negerinya. Apabila dirinya telah sampai di negeri asalnya, maka statusnya kembali menjadi ahlul harb yang boleh diperangi.” (Ahkamu Ahlidz Dzimmah 2/873).


Ketentuan dalam Perjanjian Hudnah
Syari’at tidak membolehkan untuk mengadakan perjanjian hudnah yang bersifat kekal antara kaum muslimin dengan kuffar. Hal ini sebagaimana kesepakatan (ijma’) yang dikemukakan oleh Ibnul Qayyim (Ahkamu Ahlidz Dzimmah 2/876). Hal tersebut tidak diperbolehkan karena akan menihilkan pensyari’atan jihad.
Adapun bentuk perjanjian hudnah dengan pembatasan tempo, maka hal ini dibolehkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya bersama kaum kafir Quraisy sebagaimana perjanjian Hudaibiyah yang beliau adakan selama 10 tahun.
Sedangkan bentuk perjanjian hudnah yang bersifat mutlak, diperbolehkan berdasarkan pendapat yang terkuat dari dua pendapat ulama. Yang dimaksud dengan perjanjian mutlak adalah kaum muslimin mengadakan perjanjian dengan kaum kuffar tanpa ada pembatasan jangka waktu berlakunya perjanjian. Kaum muslimin berniat apabila keadaan mereka kuat, maka mereka akan membatalkan perjanjian setelah adanya pemberitahuan kepada pihak kafir.
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Boleh mengadakan perjanjian hudnah baik bersifat mutlak maupun dengan adanya penentuan waktu perjanjian. Perjanjian yang disertai penentuan waktu bersifat mengikat bagi kedua belah pihak, wajib untuk untuk dipenuhi selama pihak musuh tidak membatalkannya serta tidak boleh dibatalkan semata-mata didorong adanya rasa khawatir akan dikhianati oleh pihak musuh, hal ini berdasarkan pendapat yang terkuat dari dua pendapat ulama. Adapun perjanjian yang bersifat mutlak, maka hal itu tergolong akad yang jaiz (boleh dibatalkan oleh kedua belah pihak-pent), imam boleh melakukannya jika terdapat maslahah.” (Al Ikhtiyaraat Al Fiqhiyyah hal. 542).
Beliau mengatakan pula, “Sesungguhnya kaum musyrikin terbagi menjadi dua golongan. Yang pertama golongan yang memiliki perjanjian mutlak (yang diadakan dengan kaum muslimin-pent) tanpa adanya penentuan batas waktu berakhirnya perjanjian. Perjanjian ini tergolong akad yang jaiz, bukan akad lazim. Golongan kedua adalah mereka yang memiliki perjanjian dengan kaum muslimin dengan disertai penentuan batas waktu perjanjian. Maka Allah memerintahkan rasul-Nya untuk membatalkan perjanjian mutlak yang beliau adakan dengan kaum musyrikin, karena perjanjian jenis tersebut tergolong akad yang jaiz, bukan akad lazim dan Dia memerintahkan beliau untuk mengumumkan pembatalan tersebut kepada mereka denga jangka waktu empat bulan. Adapun golongan yang mengadakan perjanjian disertai penentuan batas waktu perjanjian, maka hal ini tergolong akad perjanjian yang bersifat lazim dan Allah memerintahkan beliau untuk memenuhi perjanjian tersebut.
Sebagian ahli fiqih berpendapat bahwa perjanjian hudnah harus dilaksanakan dengan disertai penentuan batas waktu perjanjian. Sedangkan sebagian lain berpendapat imam diperbolehkan untuk membatalkan perjanjian hudnah meski mereka tidak melanggar kewajiban.
Yang tepat dalam hal ini adalah pendapat ketiga, yaitu diperbolehkan mengadakan perjanjian hudnah baik secara mutlak atau disertai dengan penentuan batas waktu. Perjanjian hudnah yang bersifat mutlak tergolong akad yang jaiz, bukan lazim, dan kedua pihak dapat memilih tetap meneruskan perjanjian atau membatalkannya. Sedangkan perjanjian hudnah yang disertai penentuan batas waktu, maka jenis ini tergolong akad lazim.” (Al Jawabus Shahih 1/175). Kemudian beliau membawakan permulaan surat Bara-ah hingga ayat 13.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Apabila hal ini telah diketahui, kemudian yang menjadi pertanyaan apakah boleh bagi penguasa untuk mengadakan perjanjian hudnah dengan kaum kuffar secara mutlak tanpa menentukan batas waktu perjanjian, dengan sekedar ucapan “Kami mengadakan perjanjian dengan kalian sekehendak yang kami inginkan.” Pihak yang hendak membatalkan perjanjian boleh membatalkan perjanjian tersebut dengan syarat memberitahukan niat pembatalannya kepada pihak lain dan tidak melakukan pengkhianatan, atau dengan sekedar ucapan, “Kami mengadakan perjanjian dengan kalian dan membuat ketentuan terhadap kalian sekehendak yang kami inginkan.”
Dalam permasalahan ini pendapat para ulama- dalam madzhab imam Ahmad maupun selain beliau-, terbagi menjadi dua:
Pertama:
Hal tersebut tidak diperbolehkan. Hal ini merupakan pendapat Asy Syafi’I dalam salah satu kesempatan dan disetujui oleh sebagian ulama madzhab Hambali seperti Al Qadli (Abu Ya’la, ed) dalam Al Mujarrad dan Asy Syaikh (Ibnu Qudamah, ed) dalam Al Mughni dan para mereka tidak menyebutkan pendapat lainnya.
Kedua:
Hal tersebut diperbolehkan. Inilah pendapat yang ditegaskan oleh Asy Syafi’I dalam Al Mukhtashar dan dua pendapat ini disebutkan oleh beberapa ulama sebagai dua pendapat yang ada dalam mazhab Hambali. Diantara yang menyebutkan demikian adalah Ibnu Hamdan.
Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa beliau berpendapat bahwa hal tersebut tergolong akad yang jaiz, sehingga diperbolehkan bagi imam untuk membatalkan perjanjian tersebut kapan pun dia menginginkannya. Pendapat ini berseberangan dengan pendapat pertama dari Asy Syafi’i.
Ketiga:
Pendapat yang mengambil jalan tengah diantara kedua pendapat yang telah lalu.
Asy Syafi’i mengomentari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada penduduk Khaibar,
“Kami biarkan kalian selama Allah membiarkan kalian.” Beliau mengatakan bahwa maksudnya adalah kami akan membiarkan kalian selama Allah mengizinkan kami untuk membiarkan kalian berdasarkan hukum syar’i.
Syafii mengatakan, ketentuan dalam hadits ini hanya bisa diketahui berdasarkan wahyu. Sehingga ini khusus untuk Nabi dan tidak berlaku untuk selain Nabi.
Mereka yang berpendapat dengan perkataan Asy Syafi’i ini (pendapat pertama-pent) seakan-akan memandang apabila perjanjian hudnah diadakan secara mutlak, maka akan menjadikannya sebagai akad yang lazim dan berlaku selamanya sebagaimana akad dzimmah. Oleh karenanya, hal ini tidak diperbolehkan mengingat adanya ijma’ yang melarang mengadakan perjanjian damai selama-lamanya. Dan dikarenakan perjanjian hudnah berubah menjadi akad lazim, maka tentu harus dipenuhi, dan Allah ‘azza wa jalla memerintahkan untuk memenuhinya dan melarang untuk melakukan khianat, dan menunaikan perjanjian tidaklah diperintahkan melainkan jika akad perjanjian merupakan akad yang lazim.
Pendapat kedua -dan inilah pendapat yang benar-, menyatakan diperkenankan bagi imam untuk mengadakan perjanjian hudnah baik bersifat mutlak maupun disertai penentuan batas waktu perjanjian. Apabila perjanjian disertai penentuan batas waktu, maka boleh dijadikan sebagai akad lazim. Sebagaimana dibolehkan jika dijadikan sebagai akad jaiz, dimana kedua pihak boleh membatalkannya kapanpun seperti akad syirkah, wikalah, mudlarabah dan sejenisnya, dengan syarat pembatalan tersebut dengan cara yang jujur (kedua belah pihak sama-sama tahu).
Selain itu boleh mengadakan perjanjian hudnah secara mutlak. Apabila bentuknya mutlak, maka bukan berarti akad tersebut berlaku selamanya. Bahkan perjanjian dapat dibatalkan kapan saja diinginkan. Hal itu disebabkan hukum asal dalam berbagai perjanjian adalah seluruh perjanjian diadakan berdasarkan maslahat yang ada, dan terkadang maslahat ditemui ketika meneruskan perjanjian atau membatalkannya.
Bagi pihak yang mengadakan perjanjian boleh baginya mengadakan perjanjian dengan akad lazim dari kedua pihak, dan boleh baginya mengadakan perjanjian dengan akad jaiz, yang memungkinkan untuk dibatalkan apabila tidak terdapat faktor yang menghalangi hal tersebut. Dalam  perjanjian seperti ini (dengan akad jaiz-pent) tidak terdapat faktor penghalang tersebut, bahkan terkadang terdapat maslahah di dalamnya. Maka, apabila penguasa membuat perjanjian dengan waktu yang cukup lama terkadang terdapat maslahat bagi kaum muslimin dalam mempersiapkan diri untuk berperang sebelum batas waktu perjanjian berakhir. Bagaimanakah kiranya apabila hal itu telah ditunjukkan oleh Al Qur-an dan As Sunnah?
Sebagian besar perjanjian yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adakan bersama kaum musyrikin bersifat mutlak tanpa adanya penentuan batas waktu perjanjian, berupa akad jaiz bukan akad lazim. Diantaranya adalah perjanjian yang beliau adakan dengan penduduk Khaibar, di saat Khaibar ditaklukkan dan dikuasai kaum muslimin dan yang mendiami wilayah tersebut adalah kaum Yahudi yang tidak terdapat seorang muslim pun diantara mereka. Dan pada saat itu ayat jizyah belum diturunkan karena ayat tersebut tercantum dalam surat Bara-ah dan turun pada saat perang Tabuk tahun 9 H, sedangkan Khaibar ditaklukkan sebelum Mekkah setelah terjadinya perjanjian Hudaibiyah tepatnya pada tahun 7 H. Maka kaum Yahudi berada di bawah kekuasaan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan seluruh harta (seperti tanah, rumah dan lahan pertanian-pent) menjadi milik kaum muslimin.
Terdapat riwayat dalam Shahih Bukhari dan Muslim bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka,
“Kami biarkan kalian sekehendak yang kami inginkan”, atau dengan lafadz lain, “selama Allah membiarkan kalian.”
Sabda beliau, “selama Allah membiarkan kalian.” ditafsirkan oleh lafadz yang lain. Dan yang dimaksudkan adalah kapanpun kami menginginkan, kami akan mengusir kalian dari wilayah Khaibar. Oleh karena itu menjelang kematiannya, beliau memerintahkan untuk mengusir kaum Yahudi dan Nasrani dari jazirah Arab dan hal tersbut dilakukan oleh ‘Umar radliallahu ‘anhu pada masa pemerinahannya.” (Ahkamu Ahlidz Dzimmah 2/874).
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Dalam kisah ini terdapat dalil bolehnya mengadakan perjanjian hudnah secara mutlak. Bahkan kapanpun imam menginginkan (perjanjian dengan bentuk seperti itu boleh diadakan-pent). Dan tidak terdapat dalil yang menghapus ketentuan tersebut, sehingga pendapat yang benar adalah perjanjian hudnah secara mutlak boleh diadakan. Hal ini telah ditegaskan oleh Asy Syafi’i sebagaimana keterangan Al Muzanni dan para imam selain beliau juga menegaskan hal yang serupa. Namun tidak diperkenankan menyerbu dan memerangi mereka sebelum melakukan pemberitahuan agar mereka dan imam kaum muslimin sama-sama mengetahui bahwa perjanjian telah dibatalkan.” (Zaadul Ma’aad 3/146).
Perhatian:
Pihak yang mampu menentukan manfaat dan bahaya dalam permasalahan ini adalah para ulama. Allah ta’alaa berfirman,
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri).” (An Nisaa: 83).
Sedangkan pihak yang berhak menetapkan perjanjian dan hudnah adalah penguasa sebagaimana yang telah disebutkan dalam pembahasan jihad. Berbagai maslahah dan mafsadat dalam permasalahan ini tidak ditentukan oleh para mujahid sebagaimana yang didengungkan sebagian diantara mereka dikarenakan dua alasan:
Tatkala terjadi perselisihan, sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kita untuk mengembalikan permasalahan kepada para mujahid, bahkan Dia memerintahkan kita untuk merujuk pada syari’at-Nya. Sedangkan pihak yang paling mengetahui syari’at-Nya adalah para ulama’, oleh karenanya Dia berfirman, فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (An Nahl: 43).
Telah jelas kesalahan para mujahidin di berbagai kejadian kontemporer yang baru saja terjadi tatkala mereka menyelisihi para ulama rabbaniyyin yang memiliki pengetahuan mendalam dalam ilmu syar’i. akan tetapi adakah adakah orang yang mau mengambil pelajaran?! Allah ta’alaa berfirman, فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ
“Maka jadikanlah (kejadian itu) sebagai pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai wawasan.” (Al Hasyr: 2).
Hanya Allah yang tahu berapa banyak Islam dan kaum muslimin menjadi korban dikarenakan berbagai ijtihad yang mereka lakukan. Ribuan jiwa terbunuh, ratusan kehormatan telah dilanggar, banyak kota yang sudah berkembang menjadi rata dengan tanah, belum lagi yang terluka, berada dalam pengungsian, penjara dan hal ini merupakan realita yang tidak dapat dihitung.
Tidak ada yang senang akan ulah mereka melainkan dua golongan. Mereka yang bodoh dan hanya mengandalkan semangat, perasaanlah motor penggerak mereka, bukan akal mereka. Dan golongan yang lain adalah kaum kuffar yang senantiasa menanti berbagai kesempatan yang tepat untuk memperdaya islam dan kaum muslimin.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Syukur Dikala Meraih Sukses

Di kala impian belum terwujud, kita selalu banyak memohon dan terus bersabar menantinya. Namun di kala impian sukses tercapai, kadang kita malah lupa daratan dan melupakan Yang Di Atas yang telah memberikan berbagai kenikmatan. Oleh karenanya, apa kiat ketika kita telah mencapai hasil yang kita idam-idamkan? Itulah yang sedikit akan kami kupas dalam tulisan sederhana  ini.
Akui Setiap Nikmat Berasal dari-Nya
Inilah yang harus diakui oleh setiap orang yang mendapatkan nikmat. Nikmat adalah segala apa yang diinginkan dan dicari-cari. Nikmat ini harus diakui bahwa semuanya berasal dari Allah Ta’ala dan jangan berlaku angkuh dengan menyatakan ini berasal dari usahanya semata atau ia memang pantas mendapatkannya. Coba kita renungkan firman Allah Ta’ala,
لا يَسْأَمُ الإنْسَانُ مِنْ دُعَاءِ الْخَيْرِ وَإِنْ مَسَّهُ الشَّرُّ فَيَئُوسٌ قَنُوطٌ
Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan.” (QS. Fushshilat: 49). Atau pada ayat lainnya,
وَإِذَا أَنْعَمْنَا عَلَى الْإِنْسَانِ أَعْرَضَ وَنَأَى بِجَانِبِهِ وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُو دُعَاءٍ عَرِيضٍ
Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka, maka ia banyak berdoa.” (QS. Fushshilat: 51)
Inilah tabiat manusia, yang selalu tidak sabar jika ditimpa kebaikan atau kejelekan. Ia akan selalu berdo’a pada Allah agar diberikan kekayaan, harta, anak keturunan, dan hal dunia lainnya yang ia cari-cari. Dirinya tidak bisa merasa puas dengan yang sedikit. Atau jika sudah diberi lebih pun, dirinya akan selalu menambah lebih. Ketika ia ditimpa malapetaka (sakit dan kefakiran), ia pun putus asa. Namun lihatlah bagaimana jika ia mendapatkan nikmat setelah itu? Bagaimana jika ia diberi kekayaan dan kesehatan setelah itu? Ia pun lalai dari bersyukur pada Allah, bahkan ia pun melampaui batas sampai menyatakan semua rahmat (sehat dan kekayaan) itu didapat karena ia memang pantas memperolehnya. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala,
وَلَئِنْ أَذَقْنَاهُ رَحْمَةً مِنَّا مِنْ بَعْدِ ضَرَّاءَ مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ هَذَا لِي
Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: “Ini adalah hakku.”(QS. Fushshilat: 50)
Sifat orang beriman tentu saja jika ia diberi suatu nikmat dan kesuksesan yang ia idam-idamkan, ia pun bersyukur pada Allah. Bahkan ia pun khawatir jangan-jangan ini adalah istidroj (cobaan yang akan membuat ia semakin larut dalam kemaksiatan yang ia terjang). Sedangkan jika hamba tersebut tertimpa musibah pada harta dan anak keturunannya, ia pun bersabar dan berharap karunia Allah agar lepas dari kesulitan serta ia tidak berputus asa.[1]
Ucapkanlah “Tahmid”
Inilah realisasi berikutnya dari syukur yaitu menampakkan nikmat tersebut dengan ucapan tahmid (alhamdulillah) melalui lisan. Ini adalah sesuatu yang diperintahkan sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS. Adh Dhuha: 11)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
التَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ ، وَتَرْكُهَا كُفْرٌ
Membicarakan nikmat Allah termasuk syukur, sedangkan meninggalkannya merupakan perbuatan kufur.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahih Al Jaami’ no. 3014).
Lihat pula bagaimana impian Nabi Ibrahim tercapai ketika ia memperoleh anak di usia senja. Ketika impian tersebut tercapai, beliau pun memperbanyak syukur pada Allah sebagaimana do’a beliau ketika itu,
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاءِ
Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. ” (QS. Ibrahim: 39).
Para ulama salaf ketika mereka merasakan nikmat Allah berupa kesehatan dan lainnya, lalu mereka ditanyakan, “Bagaimanakah keadaanmu di pagi ini?” Mereka pun menjawab, “Alhamdulillah (segala puji hanyalah bagi Allah).”[2]
Oleh karenanya, hendaklah seseorang memuji Allah dengan tahmid (alhamdulillah) atas nikmat yang diberikan tersebut. Ia menyebut-nyebut nikmat ini karena memang terdapat maslahat dan bukan karena ingin berbangga diri atau sombong. Jika ia malah melakukannya dengan sombong, maka ini adalah suatu hal yang tercela.[3]
Memanfaatkan Nikmat dalam Amal Ketaatan
Yang namanya syukur bukan hanya berhenti pada dua hal di atas yaitu mengakui nikmat tersebut pada Allah dalam hati dan menyebut-nyebutnya dalam lisan, namun hendaklah ditambah dengan yang satu ini yaitu nikmat tersebut hendaklah dimanfaatkan dalam ketaaatan pada Allah dan menjauhi maksiat.
Contohnya adalah jika Allah memberi nikmat dua mata. Hendaklah nikmat tersebut dimanfaatkan untuk membaca dan mentadaburi Al Qur’an, jangan sampai digunakan untuk mencari-cari aib orang lain dan disebar di tengah-tengah kaum muslimin. Begitu pula nikmat kedua telinga. Hendaklah nikmat tersebut dimanfaatkan untuk mendengarkan lantunan ayat suci, jangan sampai digunakan untuk mendengar lantunan yang sia-sia. Begitu pula jika seseorang diberi kesehatan badan, maka hendaklah ia memanfaatkannya untuk menjaga shalat lima waktu, bukan malah meninggalkannya. Jadi, jika nikmat yang diperoleh oleh seorang hamba malah dimanfaatkan untuk maksiat, maka ini bukan dinyatakan sebagai syukur.
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Katsir berkata, sebagai penduduk Hijaz berkata, Abu Hazim mengatakan,
كل نعمة لا تقرب من الله عز وجل، فهي بلية.
“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.”[4]
Mukhollad bin Al Husain mengatakan,
الشكر ترك المعاصي
“Syukur adalah dengan meninggalkan maksiat.”[5]
Intinya, seseorang dinamakan bersyukur ketika ia memenuhi 3 rukun syukur: [1]  mengakui nikmat tersebut secara batin (dalam hati), [2] membicarakan nikmat tersebut secara zhohir (dalam lisan), dan [3] menggunakan nikmat tersebut pada tempat-tempat yang diridhoi Allah (dengan anggota badan).
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَأَنَّ الشُّكْرَ يَكُونُ بِالْقَلْبِ وَاللِّسَانِ وَالْجَوَارِحِ
Syukur haruslah dijalani dengan mengakui nikmat dalam hati, dalam lisan dan menggunakan nikmat tersebut dalam anggota badan.[6]
Merasa Puas dengan Rizki Yang Allah Beri
Karakter asal manusia adalah tidak puas dengan harta. Hal ini telah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai haditsnya. Ibnu Az Zubair pernah berkhutab di Makkah, lalu ia mengatakan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَقُولُ « لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ أُعْطِىَ وَادِيًا مَلأً مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا ، وَلَوْ أُعْطِىَ ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا ، وَلاَ يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ »
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya manusia diberi lembah penuh dengan emas, maka ia masih menginginkan lembah yang kedua semisal itu. Jika diberi lembah kedua, ia pun masih menginginkan lembah ketiga. Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan tanah. Allah tentu menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6438)
Inilah watak asal manusia. Sikap seorang hamba yang benar adalah selalu bersyukur dengan nikmat dan rizki yang Allah beri walaupun itu sedikit. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ
Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667)
Dan juga mesti kita yakini bahwa rizki yang Allah beri tersebut adalah yang terbaik bagi kita karena seandainya Allah melebihkan atau mengurangi dari yang kita butuh, pasti kita akan melampaui batas dan bertindak kufur. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.(QS. Asy Syuraa: 27)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Seandainya Allah memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang mereka butuh, tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.” Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan, “Akan tetapi Allah memberi rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.”[7]
Patut diingat pula bahwa nikmat itu adalah segala apa yang diinginkan seseorang. Namun apakah nikmat dunia berupa harta dan lainnya adalah nikmat yang hakiki? Para ulama katakan, tidak demikian. Nikmat hakiki adalah kebahagiaan di negeri akhirat kelak. Tentu saja hal ini diperoleh dengan beramal sholih di dunia. Sedangkan nikmat dunia yang kita rasakan saat ini hanyalah nikmat sampingan semata. Semoga kita bisa benar-benar merenungkan hal ini.[8]
Jadilah Hamba yang Rajin Bersyukur
Pandai-pandailah mensyukuri nikmat Allah apa pun itu. Karena keutamaan orang yang bersyukur amat luar biasa. Allah Ta’ala berfirman,
وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imron: 145)
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.” (QS. Ibrahim: 7)
Ya Allah, anugerahkanlah kami sebagai hamba -Mu yang pandai bersyukur pada-Mu dan selalu merasa cukup dengan segala apa yang engkau beri.
Diselesaikan atas taufik Allah di Pangukan-Sleman, 23 Rabi’ul Akhir 1431 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal