"Dia Allah Maha Mengetahui Apa Yang Ada di Langit dan apa Yang Ada di Bumi, Dia Allah Mengetahui Apa yang Kamu Nyatakan dan apa yang Kamu sembunyikan dan Dia Allah Mengetahui Apa yang ada di sudut hatimu"

4 Sep 2012

Demi Islam, Anas Diusir dan Sempat Jadi Kuli Panggul

Abdullah Anas, 19 tahun, lahir dan dibesarkan di Medan dalam keluarga Kristen Protestan. Ayahnya seorang pendeta, sehingga dari kecil ia tumbuh dalam keluarga agamis. Anas dan kedua kakaknya sangat rajin manjalankan ibadah ke gereja. Gereja tempat ia beribadah membagi 2 waktu bagi jemaatnya dalam sehari, dan dalam sehari pula ia pergi ke sana. "Tujuan saya untuk dapat benar-benar mendapatkan ilmunya ” tutur anak ke 3 dari 4 bersaudara ini Tapi, selain sangat taat dengan keyakinan Protestannya, ia rupanya juga tertarik dengan agama lain, yaitu Islam. “Sejak duduk di bangku SMP saya suka mengamati kegiatan teman-teman saya beragama Islam, saya tertarik dengan acara-acara yang ada, seperti hari raya kurban, Isra Mi’raj, bulan Ramadhan dan sebagainya” tutur nya Dorongan besar untuk mengetahui Islam lebih dalam kian dirasakan Anas di bangku SMA. Hingga ia memutuskan mengikuti dua pelajaran agama, Kristen dan Islam sekaligus di sekolah. “Memang dulu guru sempat tidak mengizinkan saya mengikuti dua mata pelajaran agama, tetapi setelah saya berbicara dengan guru agama Islam dan menceritakan ketertarikan itu, saya diperbolehkan mengikuti dua-duanya," tutur Anas. Dengan mempelajari kedua agama itu pengetahuannya tentang Islam semakin luas dan hatinya mulai memiliki kecenderungan. Tapi Annas tidak ingin gegabah. Ia berpikir pula risiko ke depan. “Saya tahu, keinginan saya untuk masuk Islam sangat besar. Tapi kalau saya nekad dan terburu-buru pindah agama ayah saya pasti sangat marah dan tidak menutup kemungkinan sekolah saya akan terlantar," ungkapnya. “Jadi saya lebih memilih memendam keinginan itu sampai saya lulus sekolah dan benar-benar yakin dan sanggup menerima apapun yang akan terjadi nanti” lanjutnya. Meski menunda niat menjadi Muslim, Anas tak lantas menunda mencari pengetahuan tentang Islam. Berpisah jalan dengan sang ayah Ketika lulus SMA, Anas beserta ayahnya pindah sementara ke Jakarta, karena sang ayah akan menjalankan pelayanan di salah satu gereja di ibu kota. Anas yang sudah lulus SMA saat itu sudah terdaftar sebagai mahasiswa Universitas Nasional di Jurusan Hukum. Selama ayahnya sibuk dengan pelayanan digereja, Anas juga sibuk belajar tentang Islam lebih mendalam. Hingga akhirnya, tepat di bulan Agustus, 2010, Anas mendatangi Masjid Cut Meutia di kawasan Menteng untuk mengikrakan syahadat. “Saat itu pulang kuliah, saya nekad datang ke masjid dan minta untuk di-Islamkan. Setelah bercerita panjang lebar kepada pengurus masjid, mereka bersedia mengislamkan saya," katanya. Anas mengaku, perasaannya kala itu itu bercampur aduk. “Saya sadar, begitu ayah tahu, maka ia akan marah besar. Tapi bagaimanapun, saya harus menceritakan bahwa saya sudah menjadi muslim” lanjutnya. Begitu memeluk Islam, Anas kembali kerumah. Ia menceritakan semuanya kepada ayahnya. Seperti yang telah ia duga ayahnya begitu murka dan tidak menerima keputusannya. Saat itu juga, Anas disuruh angkat kaki tanpa membawa barang-barangnya. “Namanya juga pendeta, tidak sudi kalau anaknya berpindah Agama. Saat itu saya hanya menggunakan baju yang melekat di tubuh, sepatu dan tas. Handphone pun diminta oleh ayah” “Kebetulan saya memegang dua handphone dan saya hanya mengembalikan satu pada ayah, dengan alasan yang satu lagi rusak dan sedang diperbaiki. Saya tau ponsel itu akan berguna bagi saya.” lanjutnya Pergi meninggalkan rumah tanpa membawa apa-apa dirasa Anas sangat beresiko. Sebelum benar-benar pergi jauh Anas berhasil mengambil Ijazahnya diam-diam dengan pemikiran itu dapat menolongnya kelak. "Saya tidak punya keluarga di Jakarta, seandainya adapun mereka tidak akan mau menampung saya. Jadi saya harus sanggup menjalani hari-hari sendirian” kenangnya. Berhari-hari Anas melalui hidup tanpa kejelasan. Semua fasilitas telah ditarik kembali. Karena tak ada pasokan uang untuk biaya kuliah status Anas sebagai mahasiswa tak lagi melekat. Kehidupan Keras Untuk menyambung hidupnya ia menjual ponsel--yang semula ia beli seharga dua juta--dengan harga empat ratus ribu. Anas juga sempat bekerja menjadi seorang kuli panggul di Pasar Kramat Jati. “Saya tidur di pinggir toko, tanpa alas dan selimut. Merasakan dinginnya angin malam, merasakan pedihnya hidup dijalan. Ini perjalanan hidup terbesar saya” tuturnya. Hidup berpindah-pindah ia alami. Bukan hanya sehari dua hari, melainkan sampai berbulan-bulan. Lambat laun Anas merasa hidupnya kian tak terarah. Ia pun memutuskan mendatangi salah satu masjid besar, niatnya untuk memproleh pelajaran mengenai Islam lebih dalam. Namun sangat mengecewakan, jangankan mendapat ilmu, diperbolehkan masukpun tidak. “Saat itu saya datang dengan keadaan seadanya, baju saya kotor dan keadaan saya sangat lusuh," kenang Anas. "Ketika akan memasuki pekarangan masjid, ada salah seorang bapak menggunakan kopiah mengatakan bahwa saya tidak boleh masuk masjid karena pakaian yang kotor” “Saya mengatakan pada orang tersebut agar mau mengajarkan saya tentang Islam, tetapi ia menolak dan langsung pergi," katanya. Saat itu ia sangat kecewa dan putus asa. "Bagaimana tidak? Seorang muslim saja tidak mau membagi ilmunya untuk orang yang baru masuk Islam seperti saya ini.” Mengaku putus asa, Anas memilih jalan pintas. Anas pergi ke Gereja dan bertemu pendeta. Ia menceritakan kisahnya, termasuk mengapa ia diusir dan mengaku menyesal. Pendeta itu dengan sangat antusias menawarkan segala kemudahan bagi Anas. “Setelah mendengar cerita saya, pendeta itu menanyakan segala macam kebutuhan saya, bahkan ia akan memberikan segalanya agar saya mau kembali ke agama sebelumnya. Saat itu saya hanya bilang ingin makan, pendeta itu pun memberikan uang Rp 20.000 dan mengharapkan saya kembali ke gereja itu setelah makan," tutur Anas. Menemukan 'Rumah' Entah mengapa setelah mendapatkan uang, Anas malah berpikir pergi ke warung internet (warnet). "Di sana saya mencari tempat khusus menampung orang-orang yang baru menjadi seorang muslim seperti saya, dan saya menemukan alamat sebuah yayasan di daerah Jagakarsa” Dengan tekad menggebu-gebu, Anas mendatangi tempat tersebut, dengan harapan bertemu orang-orang yang bisa membantunya. “Saat itu posisi saya di Kramat Jati, sedangkan posisi yayasan tersebut di Jagakarsa. Karena uang yang diberikan pendeta tersebut sudah terpakai untuk makan dan membayar warnet saya memutuskan untuk berjalan kaki. Butuh waktu dua hari bagi saya untuk menemukan alamat itu.” Kini Anas sudah memiliki kelurga baru, di Yayasan Bina Insan Mualaf. Itulah tempat yang ia temukan di internet, di mana ia mengaku merasakan indahnya Islam, indahnya berbagi dan keakraban. “Memang terdengar aneh, ayah saya seorang pendeta, saya pun termasuk orang yang aktif dalam kegiatan agama saya sebelumnya," ujarnya mengenang kisahnya. Tapi ia menganggap itulah hidayah Allah. "Mungkin karena saya yang benar-benar memahami kitab saya dulu, sehingga membuat saya mencari kitab suci yang sesungguhnya, mencari agama yang benar dan saya temukan itu dalam Islam. Hanya orang-orang cerdaslah yang mengetahui kebenaran ajaran Agama Islam." Kini Anas mengaku dibina oleh orang-orang yang kompeten dibidangnya. Ia belajar bacaan shalat dan juga belajar mengaji. Saat ini ia sedang mempelajari surat-surat pendek, yang menurutnya agak sulit, tetapi ia mengaku terus berusaha. “Kalau boleh dibilang, Islam itu bagi saya hanya dua kata, lengkap dan sempurna. Komplit semua ajarannya dan semua diajarkan dalam Islam karena itu ini agama yang sempurna.” ujarnya. Anas berharap semua muslim dimanapun dapat lebih memperhatikan Mualaf seperti dirinya. Ia menanggap dirinya masih sangat membutuhkan bimbingan dan arahan agar dapat menjadi seorang muslim yang sesungguhnya.

5 Apr 2012

Islam,menjawab berbagai pertanyaan dan ketidakpastian dalam agamanya

ABDUL AZIZ LAIA (Lianus Laia) berasal dari Lölömatua. Ayahnya Ama Tiana Laia dan ibunya Ina Tiana Bulölö. Abdul Aziz yang pernah jadi tukang pangkas rambut di Riau ini adalah anak pertama dari tujuh bersaudara. Saat remaja, seorang guru berkerudung membuatnya kagum. Beranjak dewasa, hatinya terketuk oleh materi khutbah Jumat serta kumandang tilawah Alquran yang didengarnya setiap menjelang Maghrib. Kini, pria bernama Abdul Aziz Laia itu telah menghafal tiga setengah juz Alquran. Abdul Aziz berislam sembilan tahun lalu, setelah beberapa tahun lamanya kebenaran Islam menyusup ke dalam sanubarinya. Islam, katanya, menjawab berbagai pertanyaan dan ketidakpastian dalam agamanya. “Tak ada alasan untuk keluar dari agama Allah ini,” kata pria bernama asli Lianus Laia ini. *** Abdul Aziz. Demikian nama yang dipilihnya setelah ia memutuskan mengucap syahadat pada Januari 2002 silam. “Laia,” nama marga yang tak ingin ditanggalkannya, ia sematkan di belakang nama barunya itu. Dilahirkan dan dibesarkan di tengah keluarga Kristiani, Aziz tak pernah mengenal Islam. Terlebih di Nias Selatan, kota kelahirannya, umat Islam adalah masyarakat minoritas. “Yang kuingat, dulu aku dan teman-teman kerap merobek gambar apapun yang disebut-sebut sebagai gambarnya orang Islam. Tapi aku sendiri tak tahu apa itu Islam,” ujar Abdul Aziz kepada Republika yang menemuinya di kampus LIPIA, Jakarta Selatan, Kamis (15/3) lalu. Satu hal yang ia tahu tentang Muslim kala itu; mereka berbeda. Perbedaan itu ditemukannya dalam diri salah seorang guru perempuan di sekolahnya. “Aku masih ingat, dulu aku sering mengamati pakaiannya. Ia mengenakan kerudung dan rok panjang yang menutupi kakinya, tidak seperti pakaian guru-guru perempuan lain di sekolahku.” Tak hanya itu, Aziz kagum pada bagaimana sang ibu guru berperilaku dan bertutur kata. “Akhlaknya mencerminkan kebaikan budi pekerti. Jika semua Muslim seperti itu, saya yakin akan banyak sekali orang yang tertarik pada Islam,” kata Abdul Aziz, masih dengan nada kagum. *** Semua hanya sebatas kekaguman, hingga akhirnya Abdul Aziz menamatkan sekolah menengah pertamanya dan melanjutkan studinya ke sebuah sekolah kejuruan di Medan. Di kota itulah segalanya berawal. Aziz bekerja sebagai fotografer pada sebuah keluarga Muslim dan tinggal bersama mereka di rumah yang berdekatan dengan masjid. Setiap hari, selama tiga tahun, Aziz mendengar rekaman tartil Alquran lengkap dengan terjemahannya dikumandangkan setiap menjelang Maghrib. Al-Anbiyaa’ dan Maryam adalah dua surah yang paling sering diputar kala itu. “Aku sangat terheran-heran kala itu. Nabi-nabi yang disebutkan dalam Alquran sama persis dengan nabi-nabi yang pernah kami (umat Kristiani) pelajari,” kata Aziz. Berangkat dari situ, perhatian Aziz pada Islam muncul secara perlahan. Khutbah yang didengarnya setiap hari Jumat melengkapi perhatiannya dan mengubahnya menjadi keingintahuan. “Aku semakin ingin tahu lebih banyak hal tentang Islam. Dan secara perlahan pula, aku semakin jarang pergi ke gereja.” Tak hanya itu, Aziz merasa ada yang mengetuk-ngetuk hatinya kala melihat para jamaah masjid berwudlu. “Itu seperti baptis dalam ajaran kami. Aku merasa Islam dekat dengan berbagai hal yang pernah kuketahui sebelumnya tentang agamaku.” Meski belum resmi berislam, keingintahuan yang bertambah besar setelah itu membuat Aziz memilih menjadi remaja masjid. Sesekali, ia bahkan ikut mengerjakan amalan-amalan Muslim. *** Lulus dari sekolah kejuruan, pria kelahiran 25 Oktober 1980 ini lalu merantau ke Riau dan bekerja di sana. Dua tahun pertama di sana, katanya, ia semakin giat mendalami Islam. “Aku mulai membandingkan antara Islam dan Kristen,” katanya. Pada waktu yang sama, Aziz mulai meragukan dogma-dogma agamanya. Seperti dogma yang mengatakan bahwa dosa-dosa umat Kristiani dihapuskan pada Natal dan tahun baru. “Ketika yang kulihat justru bahwa banyak dari kami merayakan Natal sambil mabuk-mabukan, jaminan pengampunan dosa itu mustahil,” ujarnya. Hingga akhirnya, ia memilih salah seorang kawannya yang juga seorang penggiat masjid untuk menjawab pertanyaannya. Setelah sempat tidak mampu memejamkan mata pada malam sebelumnya, Aziz melontarkan tiga pertanyaan pada kawannya itu. “Aku bertanya tentang siapa Muhammad, bagaimana posisi Isa dan Maryam dalam Islam, dan mengapa babi haram dimakan.” Dari uraian sang kawan, Aziz mengetahui bahwa perihal Nabi Muhammad juga disebutkan di dalam Injil, dan larangan memakan daging babi disebutkan dalam Alquran. Dan ia semakin takjub saat mengetahui bahwa Islam memiliki surah bernama Maryam, sementara agamanya tidak. Tak ada lagi keraguan dalam hati Aziz untuk membantah kebenaran Islam saat itu. Tak ingin menunda, Aziz meminta diislamkan saat itu juga, dua minggu setelah ia merayakan Natal. Meski tak disaksikan siapapun selain Allah dan kawannya, Lianus Laia pun resmi berhijrah dengan nama Abdul Aziz Laia. *** Pasca berislam, Aziz semakin menunjukkan perannya sebagai remaja masjid. Ia dipercaya sebagai ketua, diundang berbicara di berbagai masjid, dan menjadi penggagas pengajian khusus mualaf di Kecamatan Tualang Perawang, Siak, Riau. Selain itu, Aziz juga belajar membaca Alquran pada sang marbot yang mengislamkannya. Hanya saja, Aziz merasa, ia tak banyak belajar banyak tentang Islam kala itu. Bahkan, ia malu karena tak juga mampu membaca Alquran. “Tak ada yang membimbingku mendalami agama. Namun di tengah kondisi itu, aku tak pernah absen untuk shalat berjamaah di masjid.” Hingga akhirnya, ia bertemu seorang ustadz yang menyarankan Aziz untuk menimba ilmu agama di Jawa. Di luar dugaan, masyarakat Tualang Perawang mendukung dan bergotong royong menyiapkan biaya keberangkatannya. “Saya bertolak dari Riau dengan membawa uang sebesar 13 juta yang dikumpulkan oleh masyarakat. Subhanallah.” Di Jawa, Aziz mula-mula menimba ilmu selama tiga bulan di sebuah pesantren di Pandeglang, kemudian setahun di Tasikmalaya. Dari kedua pesantren tersebut, Aziz merasa kebutuhannya sebagai mualaf tidak terpenuhi, dikarenakan tidak ada sistem pembimbingan khusus bagi mualaf seorang seperti dirinya. Kondisi itu semakin parah karena Aziz mulai kehabisan bekal sehingga harus bekerja. Ia bekerja di klink pesantren dan hanya diperbolehkan ikut belajar bersama para siswa Aliyah setelah tugas-tugasnya selesai. Itupun tanpa terlibat aktif dan menerima rapor karena ia tak mampu membayar SPP. “Di kelas, aku hanya jadi pendengar.” Solusi datang dari Allah saat ia bertemu seorang teman yang kemudian mengenalkannya pada seorang teman lain dari Medan. Dari teman yang terakhir, Aziz bertemu seorang mualaf yang mengelola pesantren khusus mualaf An-Naba’ Center, Syamsul Arifin Nababan. *** Ustaz Nababan, demikian Aziz memanggilnya, mengizinkannya untuk tinggal di An-Naba’ Center dan mempelajari Islam tanpa dibebani kewajiban finansial. “Di sanalah aku mulai belajar Alquran secara intensif dan kemudian mulai menghafalnya.” Atas perjuangan sang ustadz pula, Aziz dapat berkuliah di LIPIA . Di samping itu, semangat dakwah yang tinggi dalam dirinya mendorongnya untuk mendalami ilmu dakwah di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Dirosat Islamiyah Al-Hikmah, Jakarta Selatan. Selain berkuliah, pria yang bercita-cita menjadi dai ini juga sibuk berdakwah di berbagai tempat. Mengenai keislamannya, Aziz mengaku puas dan tenang. “Subhanallah, kehidupan menjadi sangat indah dengan Islam.” Keindahan itu, katanya, tidak akan ia gadaikan dengan apapun. “Diiming-imingi apapun, dan diancam dengan apapun, aku tidak akan meninggalkan agama ini. Jiwa ragaku untuk Islam,” tegasnya. Tentang cita-citanya, Aziz mengaku akan terus mempersiapkan diri untuk itu. Sulung dari tujuh bersaudara ini bertekad untuk terus menuntut ilmu hingga menjadi seorang yang ‘mumpuni’ di bidang agama. “Setelah lulus S2, aku akan kembali ke Nias dan berdakwah di sana.” Diposkan oleh Muslim menjawab di 19:57

17 Mar 2012

Inilah Ilmuwan yang "islamkan" 5 Mahasiswa sebelum menjadi Muslim

''Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.'' (QS. An-Nisa: 56) Bagi sebagian besar umat Islam, ayat di atas terdengar seperti ayat-ayat serupa dalam Alquran yang menjelaskan pedihnya siksa neraka bagi orang-orang yang tidak beriman. Namun tidak demikian bagi Tagatat Tejasen, seorang ilmuwan Thailand di bidang anatomi. Baginya, ayat itu adalah sebuah keajaiban.
*** Konferensi Kedokteran Saudi ke-6 di Jeddah yang diikuti Tejasen pada Maret 1981 menjadi awal kisah pertemuannya dengan keajaiban itu. Dalam konferensi yang berlangsung selama lima hari itu, sejumlah ilmuan Muslim menyodori Tejasen beberapa ayat Alquran yang berhubungan dengan anatomi. Tejasen yang beragama Buddha kemudian mengatakan bahwa agamanya juga memiliki bukti-bukti serupa yang secara akurat menjelaskan tahap-tahap perkembangan embrio. Para ilmuan Muslim yang tertarik mempelajarinya meminta profesor asal Thailand itu untuk menunjukkan ayat-ayat tersebut pada mereka. Setahun kemudian, Mei 1982, Tejasen menghadiri konferensi kedokteran yang sama di Dammam, Arab Saudi. Saat ditanya tentang ayat-ayat anatomi yang pernah dijanjikannya, Tejasen justru meminta maaf dan mengatakan bahwa ia telah menyampaikan pernyataan tersebut sebelum mempelajarinya. Ia telah memeriksa kitabnya, dan memastikan bahwa tidak ada referensi darinya yang dapat dijadikan bahan penelitian. Ia kemudian menerima saran para ilmuan Muslim untuk membaca sebuah makalah penelitian karya Keith Moore, seorang profesor bidang anatomi asal Kanada. Makalah itu berbicara tentang kecocokan antara embriologi modern dengan apa yang disebutkan dalam Alquran. Tejasen tercengang saat membacanya. Sebagai ilmuwan di bidang anatomi, ia menguasai dermatologi (ilmu tentang kulit). Dalam tinjauan anatomi, lapisan kulit manusia terdiri dari tiga lapisan global, yakni Epidermis, Dermis, dan Sub Cutis. Pada lapisan yang terakhirlah, Sub Cutis, terdapat ujung-ujung pembuluh darah dan syaraf. Penemuan modern di bidang anatomi menunjukkan bahwa luka bakar yang terlalu dalam akan mematikan syaraf-syaraf yang mengatur sensasi. Saat terjadi Combustio grade III (luka bakar yang telah menembus Sub Cutis), seseorang tidak akan merasakan nyeri. Hal itu disebabkan tidak berfungsinya ujung-ujung serabut syaraf afferent dan efferent pengatur sensasi yang rusak oleh luka bakar tersebut. Makalah itu tidak saja menunjukkan keberhasilan teknologi kedokteran dan perkembangan ilmu anatomi, namun juga membuktikan kebenaran Alquran. Ayat 56 surah An-Nisa’ mengatakan bahwa Allah akan memasukkan orang-orang kafir ke dalam neraka, dan mengganti kulit mereka dengan kulit yang baru setiap kali kulit itu hangus terbakar, agar mereka merasakan pedihnya azab Allah. Jantung Tejasen berdebar. “Bagaimana mungkin Alquran yang diturunkan 14 abad yang lalu telah mengetahui fakta kedokteran ini?” *** Sebelum berhasil mengatasi keterkejutannya, Tejasen disodori pertanyaan oleh para ilmuan Muslim yang mendampinginya, “Mungkinkah ayat Alquran ini bersumber dari manusia?” Ketua Jurusan Anatomi Universitas Chiang Mai Thailand itu sontak menjawab, “Tidak, kitab itu tidak mungkin berasal dari manusia. Ia kemudian termangu dan melanjutkan responsnya, “Lalu dari mana kiranya Muhammad menerimanya?” Mereka memberitahu Tejasen bahwa Tuhan itu adalah Allah, yang membuat Tejasen semakin ingin tahu. “Lalu, siapakah Allah itu?” tanyanya. Dari para ilmuan Muslim tersebut, Tejasen mendapatkan keterangan tentang Allah, Sang Pencipta yang dari-Nya bersumber segala kebenaran dan kesempurnaan. Dan Tejasen tak membantah semua jawaban yang diterimanya. Ia membenarkannya. Profesor yang pernah menjadi dekan Fakultas Kedokteran Universitas Chiang Mai lalu itu kembali ke negaranya, tempat ia menyampaikan sejumlah kuliah tentang pengetahuan dan penemuan barunya itu. Informasi yang dikutip oleh laman special.worlofislam.info menyebutkan bahwa kuliah-kuliah profesor yang masih beragama Buddha itu, di luar dugaan, telah mengislamkan lima mahasiswanya. Hingga akhirnya, pada Konferensi Kedokteran Saudi ke-8 yang diselenggarakan di Riyadh, Tejasen kembali hadir dan mengikuti serangkaian pidato tentang bukti-bukti Qurani yang berhubungan dengan ilmu medis. Dalam konferensi yang berlangsung selama lima hari itu, Tejasen banyak mendiskusikan dalil-dalil tersebut bersama para sarjana Muslim dan non-Muslim. Di akhir konferensi, 3 November 1983, Tejasen maju dan berdiri di podium. Di hadapan seluruh peserta konferensi, ia menceritakan awal ketertarikannya pada Alquran, juga kekagumannya pada makalah Keith Moore yang membuatnya meyakini kebenaran Islam. “Segala yang terekam dalam Alquran 1.400 tahun yang lalu pastilah kebenaran, yang bisa dibuktikan oleh sains. Nabi Muhammad yang tidak bisa membaca dan menulis pastilah menerimanya sebagai cahaya yang diwahyukan oleh Yang Maha Pencipta,” katanya. Tejasen lalu menutup pidatonya dengan mengucap dua kalimat syahadat.[REPUBLIKA]