"Dia Allah Maha Mengetahui Apa Yang Ada di Langit dan apa Yang Ada di Bumi, Dia Allah Mengetahui Apa yang Kamu Nyatakan dan apa yang Kamu sembunyikan dan Dia Allah Mengetahui Apa yang ada di sudut hatimu"

10 Apr 2013

Saudaraku, Kenapa Engkau Lalai Sholat Subuh

Inilah kondisi sebagian kaum muslimin saat ini. Sedih banget hati ini melihat sebagian saudara kami sudah terbiasa dengan aktivitas semacam ini, sebagaimana kami pernah ceritakan hal ini dalam posting sebelumnya. Sudah jadi kebiasaan memang, bangun di pagi hari pada saat matahari sudah meninggi. Setelah bangun langsung bergegas mandi dan mulailah dia bersiap-siap ke kantor, ke kampus atau ke tempat kuliah, luputlah shalat shubuh darinya. Ini bukanlah kita temui pada satu atau dua orang saja, namun kebanyakan kaum muslimin seperti ini. Mungkin ada yang lebih parah lagi, tidak mengerjakan shalat sama sekali selama hidupnya (dia mengaku beragama Islam dalam KTP) atau dalam mayoritas waktu yang Allah berikan, dia lalai atau meninggalkan shalat lima waktu. Rasanya air mata ini mau menetes melihat sebagian saudara kami seperti ini. Semua orang pasti sudah tahu bahwa shalat lima waktu itu wajib, bahkan orang kafir pun tahu bahwa umat Islam memiliki kewajiban semacam ini. Kami tidak mungkin menegur langsung satu per satu orang yang lalai dari shalat shubuh setiap harinya atau yang lalai dari shalat 5 waktu yang lain. Karena ada juga yang tidak kami kenal. Kami cuma berharap agar setiap orang yang membaca tulisan ini bisa menyampaikan kepada kerabat, sahabat atau saudara muslim lainnya. Semoga dengan penyampaian Fatwa Al Lajnah Ad Da’imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) berikut, di antara saudara kita bisa terbuka hatinya dan mendapatkan taufik dari Allah Ta’ala. Berilah peringatan, sesungguhnya peringatan akan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. Fatwa Pertama (Pertanyaan ke-12 dari Fatwa no. 7942, 6/15) Pertanyaan: Apa hukum orang yang sengaja mengatur waktu bangun paginya yaitu mayoritas waktunya dia bangun setelah matahari terbit, lalu dia shalat shubuh setelah matahari terbit? Dia mengatur seperti ini karena dia memiliki hajat lembur (begadang) di malam hari untuk mengulang pelajaran. Apakah orang seperti ini wajib diingkari? Jawaban: Wajib bagi kita menunaikan shalat wajib pada waktu yang telah ditentukan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa’: 103) (Perlu diperhatikan bahwa) waktu shalat shubuh adalah mulai dari terbit fajar kedua (fajar shodiq) hingga terbit matahari. Lalu alasan yang engkau sampaikan tadi (karena alasan belajar di malam hari hingga semalam suntuk, pen) bukanlah alasan untuk mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya. Namun, seseorang hendaklah mencari sebab agar dia bisa bangun pagi agar dia bisa mengerjakan shalat (Shubuh) di waktunya. Jika orang tersebut tidak melakukan kewajiban semacam ini (mencari sebab tadi, pen), maka dia wajib diingkari. Namun ingatlah, hendakah kita mengingkarinya dengan cara yang penuh hikmah. Semoga kita selalu mendapatkan taufik Allah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, pengikutnya dan para sahabatnya. Ketua Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts wal Ifta’: Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz Fatwa Kedua (Pertanyaan pertama dan kedua dari Fatwa no. 8371) Pertanyaan pertama: Ada seseorang mengerjakan shalat shubuh setelah matahari terbit dan ini sudah jadi kebiasaannya setiap paginya dan hal ini sudah berlangsung selama dua tahun. Dia mengaku bahwa tidur telah mengalahkannya karena dia sering lembur. Dia mengisi waktu malamnya dengan menikmati hiburan-hiburan. Apakah sah shalat yang dilakukan oleh orang semacam ini? Pertanyaan kedua: Apakah boleh kita bermajelis dan tinggal satu atap dengan orang semacam ini? Kami sudah menasehatinya namun dia tidak menghiraukan. Jawaban: Diharamkan bagi seseorang mengakhirkan shalat sampai ke luar waktunya. Wajib bagi setiap muslim yang telah dibebani syari’at untuk menjaga shalat di waktunya –termasuk shalat shubuh dan shalat yang lainnya-. Dia bisa menjadikan alat-alat pengingat (seperti alarm) untuk membangunkannya (di waktu shubuh). Kita diharamkan lembur di malam hari untuk menikmati hiburan dan semacam itu. Lembur (begadang) di malam hari telah Allah haramkan bagi kita jika hal ini melalaikan dari mengerjakan shalat shubuh di waktunya atau melalaikan dari shalat shubuh secara jama’ah. Hal ini terlarang karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang begadang setelah waktu Isya’ jika tidak ada manfaat syar’i sama sekali. (Perlu diketahui pula bahwa) setiap amalan yang dapat menyebabkan kita mengakhirkan shalat dari waktunya, maka amalan tersebut haram untuk dilakukan kecuali jika amalan tersebut dikecualikan oleh syari’at yang mulia ini. Jika memang keadaan orang yang engkau sebutkan tadi adalah seperti itu, maka nasehatilah dia. Jika dia tidak menghiraukan, tinggalkan dan jauhilah dia. Semoga kita selalu mendapatkan taufik Allah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, pengikutnya dan para sahabatnya. Ketua Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts wal Ifta’: Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz Kemudian dalam Fatwa Al Lajnah Ad Daimah yang lain (no. 7976) dijelaskan bahwa jika seseorang sengaja tidur sehingga lalai dari shalat dan ketika bangun tidur dia pun sengaja meninggalkan shalat, hal ini dilakukan berkali-kali (bukan hanya sekali); atau mungkin pula dia mengerjakan shalat ketika dia bangun tidur namun di luar waktunya, maka orang-orang semacam ini sama saja dengan orang-orang yang meninggalkan shalat. Juga termasuk orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang sengaja tidur dan tidak mau menunaikan shalat di waktunya, dia tidak mengambil sebab untuk bangun di pagi harinya agar bisa mengerjakan shalat tepat waktu. –Demikian maksud dari Fatwa Lajnah- Saatnya Menarik Kesimpulan Orang yang lalai dari shalat shubuh mungkin ada beberapa sebab. Mungkin karena ingin mengulang pelajaran, seperti persiapan kebut semalam (SKS = sistem kebut semalam) yang dilakukan oleh para pelajar atau mahasiswa ketika besok paginya akan menghadapi ujian. Atau mungkin pula karena ada kerjaan yang harus dilembur hingga larut malam. Atau mungkin pula karena malamnya diisi dengan menikmati hiburan seperti di night club dan semacamnya. Atau mungkin pula hal tersebut sudah menjadi kebiasaannya, apalagi sudah diseting (diatur) dengan alarm untuk bangun di pagi pagi pada pukul 6, dan ini sudah rutin setiap harinya. Jika memang alasan-alasannya seperti ini dan dilakukan rutin, tanpa mengambil sebab untuk bangun pagi, maka ini sama saja dengan meninggalkan shalat. Ingatlah bahwa meninggalkan shalat bukanlah perkara sepele. Dosanya bukan dosa yang biasa-biasa saja. Perlu diketahui bahwa dosa meninggalkan shalat adalah termasuk dosa besar yang paling besar, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama berikut ini. Ibnul Qoyyim dalam kitabnya Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7, mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir (pembahasan dosa-dosa besar), hal. 25, Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, hal. 26-27, juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat secara keseluruhan -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).” Semoga juga kita merenungkan hadits-hadits berikut ini yang menunjukkan besarnya dosa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja dan karena malas-malasan. Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ “(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257) Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574) Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ “Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566) Oleh karena itu, orang-orang yang meninggalkan shalat seperti yang kami contohkan di atas haruslah bertaubat dengan penuh penyesalan, bertekad tidak akan mengulanginya lagi dan dia harus kembali menunaikan setiap shalat pada waktunya. Namun, kalau bangun di pagi hari ketika matahari terbit tidak menjadi kebiasaan, maka dia harus mengerjakan shalat tersebut ketika dia ingat atau ketika dia bangun dari tidurnya. Kita dapat melihat hal ini dalam hadits dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا “Barangsiapa yang lupa atau tertidur dari shalat, maka kafaroh (tebusannya) adalah dia shalat ketika dia ingat.” (Muttafaqun’ alaih, diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Lihat Misykatul Mashobih yang ditahqiq oleh Syaikh Al Albani) Dari Abu Qotadah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ليس في النوم تفريط إنما التفريط في اليقظة . فإذا نسي أحدكم صلاة أو نام عنها فليصلها إذا ذكرها فإن الله تعالى قال : ( وأقم الصلاة لذكري ) “Jika seseorang tertidur, itu bukanlah berarti lalai dari shalat. Yang disebut lalai adalah jika seseorang dalam keadaan sadar (sudah terbangun). Jika seseorang itu lupa atau tertidur, maka segeralah dia shalat ketika dia ingat. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Tunaikanlah shalat ketika seseorang itu ingat.” (QS. Thaha: 14).” (HR. Muslim. Shohih. Lihat Misykatul Mashobih yang ditahqiq oleh Syaikh Al Albani) Bagaimana Mengerjakan Shalat Ketika Matahari Terbit padahal Terdapat Larangan Mengenai Hal Ini? Dijelaskan dalam Fatwa Lajnah no. 5545 bahwa jika seseorang tertidur sehingga luput dari shalat shubuh, dia terbangun ketika matahari terbit atau beberapa saat sebelum matahari terbit atau beberapa saat sesudah matahari terbit; maka wajib baginya mengerjakan shalat shubuh ketika dia terbangun, baik matahari terbit ketika dia sedang shalat atau ketika mau memulai shalat matahari sedang terbit atau pun memulai shalat ketika matahari sudah terbit, dalam kondisi ini hendaklah dia sempurnakan shalatnya sebelum matahari memanas. Dan tidak boleh seseorang menunda shalat shubuh hingga matahari meninggi atau memanas. Adapun hadits yang menyatakan larangan shalat ketika matahari terbit karena pada waktu itu matahari terbit pada dua tanduk setan (HR. Muslim), maka larangan yang dimaksudkan adalah jika kita mau mengerjakan shalat sunnah yang tidak memiliki sebab atau mau mengerjakan shalat wajib yang tidak disebabkan karena lupa atau karena tertidur. –Demikian maksud dari Fatwa Lajnah- Oleh karena itu, jika memang kita lupa atau tertidur sehingga luput menunaikan shalat wajib, maka tidak terlarang kita mengerjakan shalat ketika matahari terbit. Wallahu a’lam bish showab. Ya Allah, jadikanlah kami sebagai hamba-hamba-Mu yang selalu ta’at kepada-Mu. Diselesaikan di pagi hari yang penuh berkah di rumah tercinta Pangukan *** Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T. Artikel www.muslim.or.id

7 Apr 2013

Mualaf Center Indonesia Galang Kepedulian Untuk Dakwah di Papua

kquote> M Zaaf Fadzlan Rabbani Al-Garamatan adalah seorang ustad asli Papua / Irian.
Cita-citanya sungguh mulia, yaitu mendengar suara azan Shubuh berkumandang di seantero tanah Papua alias Irian, sehingga mampu “membangunkan” kaum Muslimin di Indonesia. Berbagai upaya pun dilakukan. Hasilnya: 900-an masjid telah tersebar di Papua, ribuan orang dimandikan secara massal, diajari cara berpakaian, dikhitan, kemudian dituntun mengucapkan kalimah syahadat. Saat ini 1.400 anak asli Papua telah disekolahkan gratis. Awalnya dimasukkan ke berbagai pesantren di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, kemudian menempuh jenjang perguruan tinggi, dalam dan luar negeri. Ratusan di antaranya tengah menempuh jenjang S-1, dan sudah ada 29 orang yang menggondol gelar S-2. Data di atas hanyalah sedikit dari prestasi yang diukir para da’i Yayasan Al-Fatih Kaafah Nusantara (AFKN. Lembaga ini dikomandani pria gagah bernama M Zaaf Fadzlan Rabbani Al-Garamatan (40). Dakwah di Papua memang istimewa. Tantangan alam begitu berat. Kultur dan kebiasaan masyarakat pun tak mudah ditaklukkan. Biayanya tinggi. Belum lagi harus berpacu dengan misionaris, yang selama ini sukses mencitrakan Papua identik dengan Kristen. “Namun berdakwah di wilayah seperti itu luaarr biasa nikmatnya!” ujar Fadzlan dengan mata berbinar. Nikmat, sehingga pria kelahiran Fak-Fak ini senantiasa menyunggingkan senyum meski harus jalan kaki berhari-hari demi menemui warga binaan. Bahkan tetap tersenyum mendakwahi seseorang yang telah tega memanahnya sehingga siku tangan kanannya berdarah-darah. Budaya Koteka adalah Pembodohan Fadzlan sebenarnya lebih sreg menyebut nama Nuu Waar bagi tanah kelahirannya, bukan Papua atau Irian. “Itu nama Irian dulu, bahasa Irian. Nuu artinya cahaya, waar menyimpan rahasia,” jelasnya. Pria yang juga pendiri Pesantren Al-Khairat Rawalumbu Bekasi ini kemudian mengungkap “rahasia” itu. “Salah satunya barangkali rahasia di balik anugerah Allah kepada Irian sebagai bagian dari Indonesia. Muslim Papua-lah yang pertama kali mengumandangkan azan Shubuh. ‘Ashalaatu khairu min an-naum!’ Ayo bangun!” “Bangunlah kebersamaan, ukhuwah Islamiyah. Jika orang Irian tidak shalat, tidak akan terdengar takbir di pagi hari. Padahal matahari dan bulan ingin mendengar takbir.” “Allah pun berfirman dalam Surat An-Nashr: 2, ‘…dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong’. Itu terjadi di Irian,” ujarnya. Dalam sejarahnya, nama itu kemudian diganti oleh Portugis menjadi Papua, lalu diganti oleh Indonesia menjadi Irian, sekarang jadi Papua lagi. “Semoga di masa depan menjadi Nuu Waar lagi,” harap Fadzlan. Sejatinya, Islam telah menjadi bagian integral dari perkembangan masyarakat Papua. Seperti tertulis di buku Islam atau Kristen Agama Orang Irian karya Ali Athwa (wartawan Suara Hidayatullah), Islam justru datang lebih dulu dibanding Kristen. Fadzlan pun meyakini hal itu. “Islam adalah agama pertama yang masuk Papua. Orang Islamlah yang mengantar Pendeta CW Otto dan JG Gensller ke Irian tanggal 5 Februari tahun 1855. Saat itu, Syaikh Iskandar Syah dari Samudera Pasai sudah datang, pengaruh Raden Fattah dari Kesultanan Demak juga sudah ada, hubungan Muslim Irian dengan Kerajaan Ternate dan Tidore di Maluku pun erat.” “Menurut data yang saya temukan, saat itu sudah ada halaqah-halaqah yang digerakkan para da’i sejak abad ke-12. Raja berperan besar dalam menggerakkan dakwah,” jelas pria yang masih keturunan Raja Pattipi ini. Menurut Fadzlan, kerajaan-kerajaan Islam saat itu berdiri di berbagai wilayah. “Ada 12 kerajaan, di bagian selatan ada 9, ada pula di utara, termasuk di kawasan Wamena, namanya Kerajaan Abdussalam Nowak. Salah satu keturunan Nowak ini adalah Haji Aipon Asso, tokoh masyarakat Wamena,” urai Fadzlan yang kini tengah melakukan penelitian tentang sejarah Islam di Nuu Waar. Dikira Misionaris M Zaaf Fadzlan Rabbani Al-Garamatan terlahir dari keluarga Muslim. Ayahnya, Machmud Ibnu Abubakar Ibnu Husein Ibnu Suar Al-Garamatan, dan sang ibu, Siti Rukiah binti Ismail Ibnu Muhammad Iribaram, sudah menanamkan nilai-nilai Islam sejak dini. “Dari kecil saya sudah mengaji dan suruh jaga itu Islam,” ujar anak ketiga dari delapan bersaudara ini. Fadzlan masih keturunan Raja Pattipi, penguasa kerajaan Islam pertama di Irian. Belum lama ini keluarga kerajaan mewakafkan tanah seluas 150 hektar untuk dakwah Islam. “Saat ini baru dimanfaatkan untuk pertanian. Insya Allah akan dibangun untuk Islamic Center,” kata Fadzlan. Pendidikan dasar sampai SMA ditempuh di Fak-Fak. Tahun 1980 melanjutkan ke Fakultas Ekonomi universitas ternama di Makassar, lulus 1984. “Sebenarnya mau masuk Tarbiyah, ingin jadi guru seperti orangtua saya. Tapi keterpurukan ekonomi masyarakat di sekitar saya mendorong untuk masuk Ekonomi, barangkali saya bisa berbuat sesuatu kelak,” kenangnya. Meski orangtuanya guru dan punya penghasilan lumayan dibanding warga sekitarnya, Fadzlan kuliah dengan biaya sendiri. Ia jualan minuman ringan dengan gerobag dorong. “Itu namanya perjuangan. Di Irian yang bergunung-gunung saja bisa saya taklukkan, masak daerah rata gini tidak bisa he…he…” Semasa kuliah, Fadzlan aktif di berbagai kegiatan. Misalnya menjadi Sekretaris Bidang Pembinaan Remaja Masjid Raya Makassar, pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan berbagai kegiatan keagamaan di kampus. Aktivitasnya itu membuat Fadzlan kerap tampil di atas mimbar. Tiap pulang kampung, yang dilakukannya bukan bercengkerama dengan keluarga, tetapi berdakwah. Mula-mula di sekitar Fak-Fak, lalu ke Sorong, Nabire, Jayapura, dan seterusnya. “Saya datangi masjid-masijd, silaturrahim dengan pengurusnya, juga lembaga-lembaga Islam, sehingga terbangun jaringan silaturrahim di berbagai daerah di Irian. Inilah yang kelak sangat membantu terbentuknya jaringan AFKN.” Kesibukan berdakwah itu membuat Fadzlan jadi “telat” menikah. Baru kesampaian tahun 1998, dengan menyunting Sri Ratu Fiftin Irjani, Muslimah berdarah Bugis. Allah telah menganugerahinya seorang putra tampan bernama Muhammad Fakar al-Fakih (7 tahun). Mualaf Center Indonesia Galang dana Peduli Dakwah di Papua Dalam Fanspagenya di Facebook Admin Mualaf Center Indonesia merilis sebuah program kepeduliannya untuk membantu Dakwah di Papua dan berikut ini salah satu postingan dari Admin Mualaf Center Indonesia : Kami para pembina grup Mualaf Indonesia, laman Mualaf Center Indonesia serta laman Mualaf, serta aneka grup dan laman lain serta Mailing List, bekerjasama dengan Ustad Fadlan dari AFKN mengadakan penggalangan Dana bagi pembangunan Atap Masjid (Kubah) serta MCK bagi para mualaf di Papua. Dana tersebut juga akan dimanfaatkan bagi pembinaan para mualaf. Bantuan dana dapat disalurkan ke rekening Mualaf Center Indonesia rek. BCA 7880745101 a/n. Alexander Machicky MT dan Arif Wibisono JAZAKUMULLAH KHAIRAN Berikut ini, kami juga sampaikan Video dan wawancara dengan ustad Fadlan yang aktif berdakwah di Papua. =========================================== “Berdakwah di Papua, Luaaaarr Biasa Nikmatnya!” Apa saja yang dilakukannya bersama da’i AFKN sehingga mampu menuai prestasi luar biasa itu? Apa pula tanggapannya tentang “koteka” dan Papua di masa depan? Simak kisahnya yang dilansir oleh Suara Hidayatullah. Perbincangan berlangsung di markas AFKN di Bekasi (Jawa Barat), suatu sore ketika hujan rintik-rintik, ditemani manisan pala, sagu, teh manis, serta kerupuk ubi suku abun Sorong yang rasanya benar-benar khas. Apa kabar Ustadz? Alhamdulillah. Maaf Anda terpaksa menunggu. Saya baru pulang dari (Pelabuhan) Tanjung Priok, mengirim sabun, sarung, mukena, Al-Qur`an, sajadah, dan pakaian ke Papua. Kemudian ke Departemen Agama, mengurus pengangkatan tenaga penyuluh agama. Seberapa sering pengiriman bantuan semacam itu dilakukan? Paling tidak seminggu dua kali. Setahun kami kirim sekitar 29 ton pakaian layak pakai. Orang-orang PT Pelni sampai komentar, 'Pak Fadzlan ini kerjaannya ngurusin pakaian bekas melulu'. "Biar saja, memang kenyataannya begitu.” Dakwah saya di berbagai majelis ta’lim di Jakarta, akhirnya ya urusan sabun dan pakaian. Saya bilang, “Daripada pakaian Anda dibuang-buang, kirimlah kepada saya.” Barang kiriman itu bertruk-truk. Bahkan AFKN (atas kerjasama dengan instansi pemerintah) pernah mengirim belasan sepeda motor untuk keperluan operasional para da’i. Pelabuhan pun kami buat sibuk. He…he… Mengapa barang-barang semacam itu penting bagi kaum Muslimin Papua? Sebelum berdakwah, kami mempelajari medan dulu untuk mengetahui kebutuhan masyarakat. Apa maunya, akan dibawa ke mana, lalu kami tawarkan konsep. Kalau tidak ada listrik, kami bikin listrik. Tidak ada air bersih, bikin sarana air bersih. Perlu pakaian, kami drop dari Jakarta, lengkap dengan mesin jahitnya sehingga mereka bisa berkarya. Seperti apa gambaran kondisi masyarakat binaan Anda sehingga memerlukan hal-hal di atas? Telepon mereka adalah nyamuk, listriknya cahaya bulan dan matahari. Mandi dan pakaian pun baru dikenalnya. Tentang kondisi alam, semua orang tahulah bagaimana Irian. Kami lalu peragakan Islam, perilakunya, aturannya. Setelah mereka lihat, kemudian bertanya-tanya. Misalnya ketika kami shalat, mereka perhatikan mulai dari takbiratul-ihram, ruku’, sujud, sampai salam. Kami jelaskan dengan bahasa sederhana. Penjelasan seperti apa? Mereka bertanya, “Kenapa Anda angkat tangan dan mulutnya bicara-bicara?” Saya jelaskan bahwa bapak dan ibu kami beragama Islam. Kami diperintah oleh Tuhan kami, Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam satu hari lima kali menghadap-Nya. Ketika mengangkat tangan itu, kami menyebut Allah Maha Besar. Dia yang pantas dibesarkan, sementara kami ini nggak ada maknanya. Mereka bertanya lagi, “Kenapa membungkukkan badan?” Supaya menyaksikan bahwa Allah menyediakan kekayaan alam di bumi. Ada batu, pohon, sayur, ikan. Ketika mengambil kekayaan alam, manusia tidak boleh sombong dan merusak, maka kami menunduk. “Kenapa mencium papan?” Di pedalaman, kami membuat tempat shalat di panggung, karena banyak babi berseliweran seperti mobil di Jakarta. Kami sujud, agar bisa menangis karena suatu hari nanti tubuh ini akan kembali dilebur dengan tanah. “Mengapa menengok ke kanan dan kiri kemudian mulutnya bicara-bicara?” Itu salam. Setelah berkomunikasi dengan Allah, kami harus menengok ke kanan dan kiri, mungkin ada orang yang belum berpakaian, maka kami ajari berpakaian. Jika ada yang belum mandi, tugas kami mengajari mandi. Bila belum ada yang pintar, tugas kami mengajar. Tumbuhlah hubungan dengan Allah, kemudian hubungan dengan manusia di atas bumi. Terciptalah kedamaian dan keamanan. Alhamdulillah, penjelasan semacam itu mampu mengetuk hati orang yang belum mengenal Islam. Mereka lantas bilang, “Kalau begitu, kami masuk Islam.” Ada yang bersyahadat sendiri, banyak pula yang massal. Ketika menjumpai masyarakat yang belum berpakaian, apa yang Anda lakukan? Pakaian memang proses awal yang agak susah. Ini sasaran dakwah yang benar-benar pemula. Awalnya kami kenalkan celana kolor, mereka tertawa. Namun ketika mereka memakainya dan lama-lama enjoy, malah akhirnya malu melepasnya. Kami bawakan cermin. Ketika masih telanjang, mereka takut melihat bayangannya sendiri. Setelah memakai celana dan baju, mereka merasakan perubahan dalam dirinya. Ternyata lebih bagus. Bagaimana Anda menjelaskan fungsi pakaian? Kami kisahkan tentang Nabi Adam ‘alaihissalaam. Barangkali pakaian koteka itu seperti Adam dan Hawa yang telanjang ketika diusir dari surga. Tapi setelah ada ilmu, maka tidak boleh lagi berpakaian seperti itu. Manusia kan punya akal, bukan binatang. Lalu kami perkenalkan pakaian, cara memakai, dan semacamnya. Kini kami kewalahan memenuhi permintaan pakaian. Alhamdulillah. Bagaimana mengajari kebiasaan mandi? Memang mereka mandinya dengan melulur minyak babi di tubuh. Kenapa begitu? Katanya untuk menghindari nyamuk dan udara dingin. Kami ajari mereka mandi dengan air dan sabun. Tak jarang harus mandi massal orang sekampung. Ibu-ibu keramas memakai sampo. Pernah ada seorang kepala suku yang begitu menikmati sabun mandi. Tanpa dibilas, dia langsung keliling kampung karena merasa amat senang dengan bau wangi sabun di tubuhnya. Kami lakukan dakwah tentang kebersihan itu dengan bertahap. Akhirnya mereka menyadari, ini anak-anak Islam ternyata lebih meyakinkan dibanding orang-orang bule yang biasa mendatanginya dengan naik pesawat. Apa yang Anda jelaskan tentang makna kebersihan? Misalnya tentang wudhu, kami jelaskan bahwa hidup ini harus bersih. Sebelum menghadap-Nya, kami diperintah untuk bersih dulu. Dengan demikian, ketika ber-takbiratul-ihram, Allah akan mengatakan, “Tangan kamu sudah dicuci, sudah bersih.” Mulut yang mengucap “Allahu Akbar,” juga bersih. Begitu juga bagian tubuh lainnya. Nah, kalau bapak-bapak dan ibu-ibu sudah bersih, mari tegakkan harumnya Islam di tengah-tengah kita. Bagaimana menjelaskan aspek kebersihan dan pakaian, khususnya untuk kaum wanita? Ini diajarkan oleh akhwat-akhwat binaan kami, yang tak kalah semangatnya di “medan tempur”, terutama bila kondisi geografisnya tidak terlampau sulit. Bahkan kami pernah dakwah dengan salon. Maksudnya? Ceritanya bermula dari akhwat binaan kami yang jadi karyawan salon di Mojokerto (Jawa Timur). Dia jadi familier dengan masalah kecantikan. Rambutnya di-rebounding sehingga lurus, tubuhnya (maaf) bersih. Suatu saat dia pulang kampung ke Enarotali, Paniai, dan ceramah. Ibu-ibu kagum. Ini anak jadi cantik, lancar mengaji, bisa ceramah, tutup auratnya pake mukena. Dia katakan, perubahan fisik dan keilmuannya itu karena ajaran Islam. Akhirnya ibu-ibu bilang, “Kami mau masuk Islam tapi pingin cantik seperti kamu.” Kami kemudian menyewa perlengkapan salon dan dibawa ke kampung itu, selama 3 bulan. Alhamdulillah, banyak yang akhirnya bersyahadat. Bagaimana mengajarkan pemahaman tauhid kepada penganut kepercayaan animisme-dinamisme seperti di Papua? Aspek perilaku sangat menentukan. Ada orang yang takut dengan pohon besar. Kami tunjukkan bahwa di pohon tidak ada yang perlu ditakuti. Ada komunitas yang suka berperang, maka kami jelaskan agar tidak melakukannya lagi, apalagi jika sudah sama-sama bersyahadat. Yang suka mencuri, kami larang karena itu merugikan. Kami jelaskan hal itu mulai dari tokoh masyarakatnya, semisal kepala suku. Dia yang kemudian akan mengkampanyekan ke masyarakatnya. Bahkan kalau di situ ada misionaris, mereka sendiri yang mengusirnya. Pernah ada sekelompok masyarakat yang memasang kayu-kayu di lapangan terbang perintis agar misionaris tak bisa mendarat. Kami tidak menyuruhnya, tapi mereka sendiri yang berinisiatif melakukannya. Pernah ada bentrok? Banyak. Tombak, panah, diusir, adalah hal yang biasa menimpa kami. Namun saya sampaikan kepada teman-teman agar tombak itu dijadikan shiraathal-mustaqiim. Kalau dipenjara, jadikan itu sebagai rumah surga awal. Jika difitnah, itu adalah untaian hidup dan puisi baru kita. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dilempari, dicaci-maki, difitnah, tapi beliau terus menebarkan senyum. Subhanallah! Anda sendiri pernah mengalami tindak kekerasan? Pernah kena panah, sampai ini patah (sambil memperlihatkan bekas tusukan panah di lengan kanannya), bengkok sampai sekarang. Tapi bagi kami, tidak perlu bicara tantangan. Seorang yang mau maju, bicara kebajikan, pasti ada tantangan. Itu hal biasa bagi seorang da’i. Bagaimana kejadiannya? Sekitar tahun 1994, antara wilayah Mapenduma dan Timika. Saya bersama delapan orang da’i sedang survei ke sebuah kampung untuk dijadikan binaan. Tiba-tiba tangan saya kena panah. Saya tidak tahu persis penyebabnya. Barangkali karena pemanah itu belum memahami apa yang kami lakukan. Bisa pula orang-orang itu diprovokasi pemahaman yang keliru. Atau mungkin kami hanya salah sasaran konflik aparat dan kelompok yang menyebut dirinya Organisasi Papua Merdeka (OPM). Apa yang kemudian Anda lakukan? Anak panah itu dicabut, lalu kami bakar pisau kemudian ditusukkan ke luka itu agar racunnya tidak bekerja. Kemudian saya ke dokter. Dokter dimana? Di Timika. Jalan kaki empat hari. Alhamdulillah lukanya tidak terus mengeluarkan darah. Alhamdulillah pula orang yang memanah itu akhirnya masuk Islam. Bagaimana bisa? Nabi itu, diapain saja oleh lawan yang memang belum faham, tetap tersenyum. Allah pun berfirman, “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125) Apalagi jika hal itu dilakukan ketika dia sakit, atau saat susah. Saat itulah insya Allah akan gugur naluri kebenciannya. Itu pula yang saya lakukan terhadap orang itu. Menurut pengamatan Anda, apakah orang yang kemudian memeluk Islam berubah menjadi lebih baik? Luar biasa. Setiap ke mushalla atau masjid, mereka mengaku merasa tenang. Barangkali Islamnya justru lebih baik dibanding saya. Mereka itu sangat jujur. Perang antar suku pun akhirnya berhenti. Ada seorang kepala suku yang menyatakan masuk Islam, kemudian dianiaya sekelompok orang, ditindih kayu, ditelanjangi, namun tetap teguh memegang syahadat. Luar biasa. Saya menangis bila menjumpai hal seperti ini. Pernahkah punya pengalaman mengesankan terkait dengan pensyahadatan massal, misalnya? Pernah di kawasan Sorong. Ketika banyak orang bersyahadat, pohon di sekelilingnya seperti merunduk. Padahal tak ada angin tak ada hujan. Kawanan rusa liar pun tiba-tiba tenang, tidak bergerak. Wallahu a’lam, barangkali mereka selama ini belum pernah mendengar kalimat suci itu dari mulut manusia, meski semua makhluk sebenarnya selalu bertasbih menyebut asma-Nya. Menilik apa yang Anda lakukan, tampaknya memerlukan waktu lama untuk berdakwah di suatu lokasi ya? Paling tidak lima tahun di suatu tempat. Ada da’i yang musti stand by di sana. Saya sendiri jaga markas di Jakarta, namun sering mengunjungi mereka di berbagai daerah. Sekali ke Papua, saya bisa menghabiskan waktu 9 bulan. Kemudian ke Jakarta untuk bikin proposal, mendapat bantuan, lalu ke Papua lagi. Selama 9 bulan itu, apa saja yang Anda lakukan? Keliling ke desa-desa binaan. Safari ini berfungsi untuk mendata kebutuhan masyarakat dan mengevaluasi perkembangan dakwah. Apakah da’i yang stand by itu kader binaan AFKN? Ya, tapi kami juga menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk dengan Hidayatullah. Alhamdulillah, sebagian da’i itu kini sudah tercatat di Departemen Agama sebagai penyuluh, sehingga punya gaji. Semua da’i itu asli orang Papua? Kebanyakan asli Papua, namun tak sedikit pula yang dari luar. Keduanya kami “kawinkan”, saling melengkapi. Da’i asli Papua lebih bagus pendekatan sosial-kemasyarakatannya. Itulah sebabnya mereka bertugas “membuka lahan” dakwah. Banyak warga yang kemudian bersyahadat. Sementara da’i non-Papua biasanya unggul dalam hal ilmu agama dan keterampilan. Mereka ini bertugas meneruskan apa yang telah dirintis da’i asli Papua. Seberapa banyak da’i dari luar Papua yang aktif bersama AFKN? Alhamdulillah banyak. Ada yang dari Garut, Tasikmalaya (Jawa Barat), Lamongan, Gresik (Jawa Timur), Makassar, dan lain-lain. Para da’i ini punya keterampilan lain sehingga bisa mengembangkan berbagai potensi yang ada di Papua. Tidak mengalami kendala bahasa? Memakai bahasa Indonesia saja, insya Allah masyarakat bisa mengerti. Memang akan lebih bagus kalau bisa bahasa setempat. Tapi harap tahu, di Papua ada 234 bahasa. Anda sendiri bisa berapa bahasa? Alhamdulillah, Allah kasih anugerah saya bisa berkomunikasi dalam 49 bahasa. Subhanallah, banyak sekali, misalnya bahasa apa? Bahasa Kokoda, Kaimana, Wamena, Asmat, Babo, Irarutu, dan sebagainya. Menurut Anda, kenapa birokrasi bisa dikuasai mereka? Kesalahan pemerintah pusat. Dulu waktu berjuang mengembalikan Papua ke pangkuan ibu pertiwi, dimulai dari basis massa Islam, terutama di wilayah barat. Jiwa raga Muslim Irian dipertaruhkan. Tapi setelah berhasil, Islam tidak dibesarkan, dakwah tidak dikembangkan. Alur informasi pun tidak pernah diterima dengan baik oleh basis-basis Islam. Apalagi basis birokrasi kemudian beralih ke Jayapura, sebuah wilayah warisan penjajah Portugis. Apakah Irian yang identik dengan Kristen itu juga dipengaruhi oleh aktivitas misionaris? Jelas. Seperti Timor Timur. Awalnya banyak yang Muslim, tapi karena ada proses pembodohan maka jadi murtad. Islam lebih dulu berkiprah di Papua, namun sekarang wilayah ini identik dengan Kristen. Tanggapan Anda? Ini korban opini media massa. Cerita tentang Irian kan tidak jauh dari koteka. Dalam waktu yang sama, posisi-posisi birokrasi dikuasai oleh saudara-saudara kami yang Kristen. Merekalah yang akhirnya lebih menonjol. Di Irian, ada proses pembodohan seperti apa? Contoh kecilnya adalah masalah pakaian dan mandi. Kami dibiarkan tetap memakai koteka dan mandi minyak babi, ini adalah pembodohan yang diajarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kami menjadi korban ketidakadilan pembangunan. Telanjang dianggap sebagai kebudayaan kami, padahal itu adalah pembunuhan karakter sebagai mahluk, sebagai hamba Allah. Kalau di antara kami ada yang jadi menteri atau anggota DPR, apakah ke Jakarta pakai koteka? Nggak bisa, manusia! Ibu yang meneteki anaknya dan babi sekaligus juga dibiarkan. Tradisi perang antarsuku dipertahankan. Akibatnya, muncul anggapan bahwa orang Irian itu jahat. Mereka juga membawa minuman keras untuk membuat generasi muda kami mabuk-mabukan. Apa yang Anda lakukan untuk memberantas pembodohan itu? Pendidikan. Ini adalah sumber utama untuk mengubah manusia. Kalau tidak dimulai dengan pendidikan, ke depan kita akan hancur, termasuk tatanan tauhid atau aqidahnya. Masyarakat Irian butuh pemikiran, perubahan, butuh ketenangan hidup. Bukan dijual untuk dijadikan ladang hidup. Selama ini kami dibiarkan miskin agar bisa jadi proyek. Generasi Irian harus dibekali dengan konsep ilmu yang benar. Dengan demikian, ketika sudah berilmu dan kembali ke kampung halaman, jiwanya akan terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya. Dan untuk mendapatkan ilmu yang benar, generasi muda Muslim Papua tidak boleh di lingkungan asalnya, tapi harus hijrah. Mengapa begitu? Seperti ember kosong, diambil dari akar lingkungannya yang belum berilmu dan beraqidah secara benar. Ketika ember ini penuh, kemudian harus menuang ke negerinya sendiri. Jadi, harus pulang ke Papua. Dengan begitu, diharapkan mereka dan masyarakatnya akan tumbuh dan berkembang. Ketika kuliah, apakah anak-anak diarahkan untuk mengambil jurusan tertentu? Terserah mau ngambil apa, sesuai potensinya. Mau jadi guru, tentara, polisi, pengusaha, arsitek, dokter, wartawan, tidak masalah. Asal, profesi sebagai da’i tidak boleh lupa. Ketika masuk di kelompok masyarakat, dakwah dulu baru bicara struktur atau birokrasi. Ini adalah amanah yang kami berikan kepada seluruh anak. Kalau tidak, bagaimana orang bisa tahu bahwa Islam bisa tumbuh dari Irian? Dan perlu dicatat, 10 atau 20 tahun lagi merekalah yang bakal menentukan masa depan Papua. Bagaimana cara meyakinkan keluarganya agar rela anak-anak dibawa ke tempat yang jauh? Mereka sudah melihat apa yang sering kami lakukan di kampung. Kami biasa shalat berjamaah Shubuh di tempat mereka, ada kultum, kemudian bekerja. Waktu zhuhur ke mushalla lagi, habis Ashar ada ta’lim. Kami tunjukkan foto, majalah, atau apapun yang bisa menunjukkan tentang anak-anak Irian yang berhasil, berkat pendidikan. Mereka pun bertanya, “Bagaimana caranya sekolah?” Kami jelaskan, “Di sini gurunya susah. Bagaimana kalau anak Bapak atau Ibu kami bawa?” Mereka pun setuju. Agar lebih meyakinkan, orangtua atau keluarganya kami bawa ke Jawa. Matanya terbuka. Begitu kembali ke kampung, mereka bercerita kepada tetangga. Begitu seterusnya. Bagaimana proses rekrutmennya? Sebelum anak-anak dibawa, kami “tidur” dulu di kampungnya 2-3 bulan, bahkan bisa sampai 2 tahun. Kami bicarakan dari hati ke hati bagaimana jika anak-anak ini dibina. Ternyata responsnya luar biasa. Kadang-kadang saya bisa bawa 50-60 anak ke Jawa, baik yang sudah Muslim atau masih mualaf. Ketika datang ke Jawa, apakah mereka mengalami masalah, karena perbedaan kultur misalnya? Ketika awal di pesantren, memang agak susah. Perlu adaptasi, mulai dari kebiasaan sampai masalah makan. Anak-anak ini terbiasa makan sagu atau ubi, maka ketika makan nasi jadi sakit perut. Atau, kalau makan nasi habis sebakul. Alhamdulillah, lama-lama bisa adaptasi dan berprestasi. Ada beberapa kader kami di Pesantren Gontor, misalnya, yang hafidz Al-Qur`an. Bagaimana memantau perkembangan anak-anak yang tersebar di berbagai tempat itu? Setiap Ramadhan kami kumpulkan di Bekasi. Anak-anak bisa ketemu, tukar pikiran dan pengalaman. Masing-masing akan termotivasi dengan perkembangan temannya. Kami pun bisa memantau sejauhmana perkembangan anak-anak. Kantor di Bekasi yang aktif sejak tahun 1985 ini menjadi semacam markas dan pusat informasi. Di sinilah jadi tempat bertanya. Sebelum ada markas, saya banyak di hutan. Komunikasi tidak lancar sehingga banyak masalah tak terselesaikan. Alhamdulillah, sekarang lebih mudah, meskipun tempat ini (di Bekasi) masih sewa. Ada lagi pusat-pusat informasi seperti di Surabaya dan Makassar. Selain menggarap pendidikan, adakah kegiatan lain? Ada program pemberdayaan ekonomi. Contohnya sagu. Kami kirim mesin pengolah sagu ke Irian sehingga produksi bisa meningkat. Kalau menggunakan cara tradisional, satu pohon saja sehari tidak selesai. Tapi kalau memakai mesin, sehari bisa menghasilkan 5 ton tepung. Warnanya pun putih karena memakai air tanah, bukan air rawa seperti sebelumnya. Untuk itu, kami buatkan sumur bor. Juga usaha ikan tenggiri. Krupuk 1.000 kantong per hari. Ikan asin, sarang semut, buah merah, sagu, terasi udang, abon ikan, abon kambing, abon rusa, dan semacamnya. Kami juga sedang menggerakkan peternakan kambing, untuk mengganti peternakan babi. Alhamdulillah, beberapa produk kami sudah bisa menembus hipermarket. Para da’i dan anak-anaklah yang jadi tenaga marketing-nya. Apa yang mendorong Anda jadi da’i? Saya ini sekolahnya umum, bukan pesantren. Dulu kalau tidak pakai kopiah dan baju koko, saya ucapkan salam kepada orang Jawa, Makassar, orang Padang, kok seringkali tidak dijawab. Barangkali mereka melihat penampilan fisik saya yang rambutnya keriting, kulit hitam, dari Irian, pasti Kristen. Padahal saya terang-terangan berwudhu, shalat berjamaah di masjid, namun masih saja dicurigai. Barangkali saya dianggap misionaris yang menyusup. Wah, ini tidak bisa dibiarkan. Satu-satunya cara agar orang mengakui saya sebagai Muslim adalah dengan menjadi da’i. Selain di AFKN, apa aktivitas lainnya? Di Pesantren Al-Khairat Bekasi, juga mengajar majelis ta’lim di beberapa instansi di sekitar Jakarta. Namun saya membatasi kegiatan ceramah di Jakarta, sebab kalau terlalu padat nanti jadi tidak bisa sering “tempur” di Irian. Anda sudah menjelajahi seluruh wilayah Papua? Sebagian besar, namun ada beberapa wilayah di sekitar Merauke yang belum. Masih banyak yang belum bisa ditembus para da’i, mungkin sekitar 20%. Maklum, kondisi alam yang sulit. Itulah kawasan yang sering diklaim misioaris sebagai kawasan Kristen, padahal tidak seperti itu. Tantangan terberat di daerah mana? Semua berat. Tapi kalau berpikir berat-berat terus, kapan orang mau masuk Islam? Biar satu kampung cuma ada 5-6 orang yang potensial kami bina, yang penting kami sampai. Bagaimana menjaga stamina ruhani agar tetap fight menghadapi tantangan semacam itu? Tanamkan dan belilah nafsu dunia dengan keikhlasan dan kesabaran. Tancapkan pedang amanah di atas pundak, ini adalah tugas yang mulia http://www.youtube.com/watch?v=JaKRwQazkoQ&feature=player_embedded#!sumber : hasil wawancara ustad Fadlan dgn Suara Hidayatullah. Tags: berita mualaf, berita muslim, News