"Dia Allah Maha Mengetahui Apa Yang Ada di Langit dan apa Yang Ada di Bumi, Dia Allah Mengetahui Apa yang Kamu Nyatakan dan apa yang Kamu sembunyikan dan Dia Allah Mengetahui Apa yang ada di sudut hatimu"

15 Sep 2011

Mualaf Elena Pouliasi Sempat Salah Duga tentang Kehidupan Muslimah

. Mualaf Elena Pouliasi Sempat Salah Duga tentang Kehidupan Muslimah Elena Pouliasi TERKAIT : Brunei Perkuat Program Pendidikan Keislaman Bagi Mualaf Kisah Sulaiman, Atheis yang Menemukan Islam Lewat Ramadhan Pernah Membuat Karikatur Mengolok-Olok Rasulullah, Tina Stylianidou Berislam Setelah Baca Shirah Nabi Di Tengah Meningkatnya Sentimen Anti Islam, Hannah Snider 'Melawan Arus' dan Bersyahadat Sara dan Elaine: Sebelum Jadi Muslim Coba-coba Puasa....Kini Bersyukur Rasakan Ramadhan Mualaf Elena Pouliasi Sempat Salah Duga tentang Kehidupan Muslimah Sabtu, 13 Agustus 2011 11:40 WIB REPUBLIKA.CO.ID, ATHENA - Melihat penampilannya sekarang, tak ada yang menyangka gadis yang tumbuh di lingkungan kelas menengah Yunani ini belum pernah bersinggungan dengan islam sampai ia menginjak usia 20-an tahun. Elena Pouliasi, kini anggun dalam balutan busana Muslimah. Ia bersyahadat setahun lalu dengan mengambil risiko yang sangat besar, pecahnya hubungan dengan keluarga besarnya. "Setidaknya, orang tua saya tahu saya 'jatuh' ke arah kebenaran, bukan ke jurang narkoba," ia trsenyum menuturkannya. Elena mengenal Islam jauh dari negerinya, di Inggris. Ia terbang ke negara itu untuk melanjutkan pendidikan, tiga tahun lalu. Di negara ini, populasi Muslim populasi Muslim cukup banyak. Ia kerap bersinggungan dengan mereka baik di kampus atau di sekitar tempat ia tinggal di London. "Seperti kebanyakan orang Yunani, aku tumbuh dengan mentalitas bahwa Muslim adalah orang-orang yang ketat dan tertindas. Aku melihat wanita dengan jilbab dan aku prihatin. Mereka sungguh tak punya kehidupan," ia menceritakan apa yang ada dalam pikirannya saat sebelum berislam. Namun makin dekat dengan mereka, Elena menemukan kondisi yang berbeda. Dua sahabatnya di London berasal dari Arab Saudi - ia menggambarkan mereka sebagai sangat cerdas dan berbakat - dan apa yang dibayangkannya tentang ketertindasan sangat jauh dari kenyataan. "Mereka secara alami mengenakan jilbab.Tapi mereka sungguh independen," katanya. Elena mulai mencari tahu tentang Islam. Ia juga kerap membaca Quran dalam terjemahan bahasa Yunaninya. "Aku mulai menyadari bahwa aku keliru selama ini. Aku melihat, sebagai contoh, cinta dan menghormati wanita dan ibu adalah utama dalam Islam," katanya. Ia makin larut belajar Islam. "Hampir tidak sadar aku berhenti minum dan makan daging babi," katanya. Proses ini berlangsung sekitar delapan bulan. "Aku merasa aku mulai hidup sebagai seorang Muslim. Aku berhati-hati saat aku pergi, aku lebih berhati-hati dengan pakaian yang kupakai, aku berhenti bersumpah serapah, dan menjadi lebih murah hati dan sopan," katanya. Pada 15 Mei tahun lalu, ia resmi menjadi seorang Muslim. Jilbab sempat menjadi hal yang dikhawatirkannya. Pada awalnya, ia mengenakan jilbab ketika ia di keluar kantor, tapi begitu masuk halaman kantornya, ia buru-buru melepaskan dan menyimpannya di dashboard mobilnya. Namun, kini ia konsisten mengenakannya, apapun risiko yang dihadapi. Elena kini memiliki kantor sendiri, sebuah biro penerjemah resmi.

4 Jul 2011

Ditengah Era Fitnah dan Kelalaian

Segala puji bagi Allah yang menciptakan kehidupan dan kematian sebagai bentuk ujian bagi segenap insan. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada rasul pembawa rahmat bagi seru sekalian alam. Amma ba’du.

Masa-masa yang penuh dengan kekacauan (baca: fitnah) dan kelalaian adalah masa-masa yang membutuhkan kesiap-siagaan pada diri setiap insan. Tidakkah kita ingat bersama, wahai saudaraku semoga Allah menjagaku dan menjagamu… bahwa menjadi orang yang istiqomah di atas ketaatan di kala-kala fitnah merajalela adalah sebuah keutamaan yang sangat besar…

Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Beribadah di kala fitnah berkecamuk laksana berhijrah kepadaku.” (HR. Muslim)

Menjadi orang yang teguh di atas kebenaran di saat manusia tenggelam dalam kesesatan jelas merupakan sebuah keutamaan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam datang dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing pula. Maka beruntunglah orang-orang yang asing.” (HR. Muslim)

Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang yang asing itu? Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa mereka itu adalah, “Orang-orang yang berbuat baik tatkala orang-orang lain berbuat kerusakan.” (HR. Thabrani, disahihkan sanadnya oleh Syaikh al-Albani)

Ingatkah engkau wahai saudaraku… bahwa kebaikan paling utama yang saat ini banyak dilalaikan oleh manusia adalah tauhid, iman dan keikhlasan?

Tentang keutamaan tauhid, maka kita semua ingat bahwa tauhid inilah yang menjadi tujuan diciptakannya seluruh jin dan manusia. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56). Para ulama salaf menafsirkan bahwa makna ibadah di sini adalah tauhid…

Lihatlah umat manusia yang ada… betapa banyak di antara mereka yang melalaikan tauhid! Sehingga mereka terjerumus dalam berbagai perbuatan syirik… Entah itu syirik besar maupun kecil, entah itu yang tampak maupun yang tersembunyi… Padahal, kita semua tahu betapa besar bahaya dosa yang satu ini, sampai-sampai Allah mengatakan (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan akan mengampuni dosa lain yang berada di bawah tingkatan syirik, yaitu bagi orang-orang yang Allah kehendaki.” (QS. an-Nisaa’: 48)

Tentang pentingnya keimanan, maka terlalu banyak dalil yang menunjukkan betapa besar peranan iman bagi kehidupan setiap insan. Di antaranya Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan, dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah.” (QS. al-An’aam: 82). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya semua manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3)

Lihatlah umat manusia yang ada di sekitar kita… betapa banyak orang yang rela menjual keimanannya demi mendapatkan kesenangan dunia yang hanya sementara! Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah dalam melakukan amalan-amalan sebelum datangnya fitnah-fitnah yang seperti potongan-potongan malam yang gelap gulita. Pada pagi hari seorang masih beriman namun di sore harinya dia menjadi kafir, atau pada sore hari dia beriman namun di pagi harinya dia menjadi kafir. Dia menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan dunia.” (HR. Muslim)

Adapun, tentang keagungan ikhlas… maka banyak sekali dalil yang menunjukkan hal itu kepada kita. Di antaranya, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya…” (QS. al-Bayyinah: 5). Dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal itu diukur dengan niatnya. Dan setiap orang akan diberi balasan seperti apa yang dia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya, niscaya hijrahnya akan sampai kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena motivasi dunia atau karena keinginan menikahi seorang wanita, maka hijrahnya hanya akan mendapatkan balasan seperti apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Lihatlah, berbagai fenomena yang ada di tengah umat manusia… Betapa banyak indikasi yang mencerminkan rusaknya nilai-nilai keikhlasan ini di dalam aktifitas hidup mereka. Penyakit riya’ dan ujub seolah telah menjadi wabah yang merambah kemana-mana… Orang yang sholat, orang yang bersedekah, orang yang berdakwah, orang yang mengajarkan kebaikan… tidaklah ada satu celah kebaikan kecuali setan berusaha untuk membidikkan anak panah ujub dan riya’ ini kepadanya…

Oleh sebab itu, Allah mengajarkan kepada kita untuk senantiasa membaca Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in di dalam sholat kita… Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan -menukil keterangan gurunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah- bahwa iyyaka na’budu merupakan senjata untuk melawan penyakit riya’, sedangkan iyyaka nasta’in merupakan senjata untuk melumpuhkan penyakit ujub…

Saudaraku.., semoga Allah meneguhkan kita di atas kebenaran.. Tauhid, iman dan keikhlasan inilah yang menjadi perisai hidup seorang muslim. Tidak ada nilainya harta dan keturunan apabila tidak diiringi dengan tauhid, iman dan keikhlasan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari -kiamat- tidaklah berguna harta dan keturunan kecuali bagi orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara’: 88-89)

Tidaklah seorang hamba mendapatkan kemuliaan derajat di sisi Allah kecuali karena tauhid, iman dan keikhlasan yang mewarnai tindak-tanduk dan perilakunya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tujuh golongan yang diberi naungan oleh Allah pada hari tiada lagi naungan kecuali naungan dari-Nya: [1] Seorang pemimpin yang adil, [2] pemuda yang tumbuh dalam ketekunan beribadah kepada Allah, [3] lelaki yang hatinya bergantung di masjid, [4] dua orang yang saling mencintai karena Allah; mereka bertemu dan berpisah karena-Nya, [5] seorang lelaki yang diajak berbuat keji oleh seorang wanita berkedudukan dan cantik namun ia mengatakan, ‘Aku takut kepada Allah’, [6] orang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan [7] seorang yang mengingat Allah di kala sepi lalu berlinanglah air matanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka di masa-masa yang penuh dengan fitnah dan kelalaian semacam ini setiap muslim harus berjuang mempertahankan tauhid, keimanan dan keikhlasan yang ada di dalam dirinya. Semoga Allah ta’ala menunjuki kita kepada kebenaran dan meneguhkan kita di atasnya, dan semoga Allah menunjuki kita kebatilan dan menjauhkan kita darinya. Wallahul musta’an.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

30 Jun 2011

Tauhid Menggugurkan Dosa

Tauhid memiliki kedudukan yang sangat agung dan utama di dalam agama Islam, karena sesungguhnya tauhid merupakan inti ajaran Islam ini.
Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafirahimahullah- berkata, “Ketahuilah, bahwa tauhid merupakan awal dakwah seluruh para rasul, awal tempat singgah perjalanan, dan awal tempat berdiri seorang hamba yang berjalan menuju Allah.” (Minhatul Ilahiyah Fi Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal. 45).
Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyahrahimahullah- berkata, “Sesungguhnya Allah ‘Azza Wa Jalla telah mengutus para Rasul-Nya, menurunkan kitab-kitab-Nya, menciptakan langit-langit dan bumi, agar Dia dikenal, diibadahi, ditauhidkan, dan agar agama itu semuanya bagi Allah, semua ketaatan untuk-Nya, dan dakwah hanya untuk-Nya.”
Kemudian beliau menyebutkan beberapa ayat Al-Qur’an (Adz-Dzariyat: 56; Ath-Thalaq: 12; Al-Maidah: 97), lalu berkata, “Allah memberitakan bahwa tujuan penciptaan dan perintah adalah agar dikenal nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, hanya Dia yang diibadahi, tidak disekutukan.”  (Ad-Da’ wad Dawa’, hal:196, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit: Dar Ibnil Jauzi).
Oleh karena itulah, tidak mengherankan bahwa tauhid memiliki banyak sekali keutamaan. Di antara keutamaannya adalah bahwa tauhid menggugurkan dosa-dosa. Inilah di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut:
1- Dosa sepenuh bumi gugur dengan tauhid.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَأَزِيدُ وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَجَزَاؤُهُ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا أَوْ أَغْفِرُ وَمَنْ تَقَرَّبَ مِنِّي شِبْرًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ ذِرَاعًا وَمَنْ تَقَرَّبَ مِنِّي ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا وَمَنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً وَمَنْ لَقِيَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطِيئَةً لَا يُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَقِيتُهُ بِمِثْلِهَا مَغْفِرَةً
Dari Abu Dzarr, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman, ‘Barangsiapa membawa satu kebaikan, maka dia mendapatkan balasan sepuluh kalinya, dan Aku akan menambahi. Barangsiapa membawa satu keburukan, maka balasannya satu keburukan semisalnya, atau Aku akan mengampuni. Barangsiapa mendekat kepada-Ku sejengkal, niscaya Aku mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekat kepada-Ku sehasta, niscaya Aku mendekatinya sedepa. Barangsiapa mendatangi-Ku dengan berjalan, niscaya Aku mendatanginya dengan berjalan cepat. Barangsiapa menemui-Ku dengan dosa sepenuh bumi, dia tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Ku, niscaya Aku menemuinya dengan ampunan seperti itu.’” (Hadits shahih riwayat Muslim no. 2687; Ibnu Majah, no. 3821; Ahmad, no. 20853).
Dalam hadits lain diriwayatkan,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
Dari Anas bin Malik , dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Allah Tabaraka Wa Ta’ala berfirman, ‘Wahai anak Adam, sesungguhnya selama engkau berdoa kepada-Ku dan mengharap kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni untukmu dosa yang ada padamu, dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu mencapai awan di langit, kemudian engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu, dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau menghadap-Ku dengan dosa sepenuh bumi, kemudian menemui-Ku, engkau tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Ku, niscaya Aku menemuimu dengan ampunan seperti itu.” (Hadits shahih riwayat Tirmidzi, no. 3540. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).
Hadits ini memuat tiga sebab untuk meraih ampunan Allah, yaitu: berdoa disertai dengan harapan, istighfar (mohon ampun), dan tauhid. Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali –rahimahullah- berkata, “Sebab ke tiga di antara sebab-sebab ampunan adalah tauhid. Ini adalah sebab yang terbesar. Barangsiapa kehilangan tauhid, maka dia telah kehilangan ampunan dari Allah. Dan barangsiapa menghadap Allah dengan membawa tauhid, maka dia telah membawa sebab ampunan yang paling besar. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
Sesungguhnya, Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. An-Nisa’/4: 48, 116).
Maka, barangsiapa menghadap Allah dengan bertauhid, walau dengan membawa dosa sepenuh bumi, maka Allah akan menemuinya dengan ampunan sepenuh bumi juga. Tetapi ini bersama dengan kehendak Allah ‘Azza wa Jalla. Jika Dia menghendaki, Dia akan mengampuninya; Namun, jika Dia menghendaki, Dia akan menyiksanya dengan sebab dosa-dosanya. Kemudian, akhirnya dia tidak kekal di dalam neraka, namun akan keluar darinya, kemudian akan measuk ke dalam surga.” (Jami’ul ‘Uluum wal Hikam, juz 1, hal. 416-417, dengan penelitian Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Baajis, penerbit. Muassasah Ar-Risalah).
2- Sembilan puluh sembilan lembar catatan keburukan gugur dengan tauhid.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ اللَّهَ سَيُخَلِّصُ رَجُلًا مِنْ أُمَّتِي عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَنْشُرُ عَلَيْهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ سِجِلًّا كُلُّ سِجِلٍّ مِثْلُ مَدِّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَقُولُ أَتُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا أَظَلَمَكَ كَتَبَتِي الْحَافِظُونَ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّ فَيَقُولُ أَفَلَكَ عُذْرٌ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّ فَيَقُولُ بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَةً فَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتَخْرُجُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ فَيَقُولُ احْضُرْ وَزْنَكَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ فَقَالَ إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ قَالَ فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كَفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كَفَّةٍ فَطَاشَتِ السِّجِلَّاتُ وَثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ فَلَا يَثْقُلُ مَعَ اسْمِ اللَّهِ شَيْءٌ
Sesungguhnya, Allah akan membebaskan seorang lelaki dari umatku di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat. Akan dibentangkan padanya 99 lembaran (catatan amal keburukan), tiap-tiap lembaran seukuran sejauh pandangan mata. Kemudian Allah bertanya, “Apakah engkau mengingkari sesuatu dari lembaran (catatan amal keburukan) ini? Apakah para (malaikat) penulis-Ku al-Hafizhun (yang mencatat) menzhalimimu?
Maka, hamba tadi menjawab, “Tidak wahai Rabbku.” Allah bertanya lagi, “Apakah engkau memilik alasan?” Maka, hamba tadi menjawab, “Tidak wahai Rabb-ku.” Maka, Allah berfirman, “Benar, sesungguhnya di sisi Kami engkau memiliki satu kebaikan. Sesungguhnya pada hari ini engkau tidak akan dizhalimi. Kemudian, dikeluarkan sebuah bithaqah (karcis) yang bertuliskan: Asyhadu alla ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu warasuluhu (Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah adalah hambaNya dan Rasul-Nya. Allah berfirman, “Datangkanlah timbanganmu. Hamba tadi berkata, “Wahai Rabb-ku, apa (pengaruh) karcis ini terhadap lembaran-lembaran ini.” Maka, Allah berfirman, “Sesungguhnya engkau tidak akan dizhalimi.” Rasulullah bersabda, “Maka, lembaran-lembaran itu diletakkan di atas satu daun timbangan, dan satu karcis tersebut diletakkan di atas satu daun timbangan yang lain. Maka, ringanlah lembaran-lembaran itu, dan beratlah karcis tersebut. Maka, sesuatupun tidak berat ditimbang dengan nama Alah.” (H.R. Ahmad, II/213; Tirmidzi, no:2639; Ibnu Majah, no. 4300; dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh (wafat th 1285 H) –rahimahullah- berkata di dalam kitabnya Fathul Majid:
Barangsiapa mengatakan Laa ilaaha illa Allah dengan sempurna, yang mencegahnya dari syirik besar dan syirik kecil, maka orang ini tidak akan terus-menerus melakukan suatu dosa, sehingga dosa-dosanya diampuni dan diharamkan dari neraka.
Dan jika dia mengatakannya dengan sifat yang mencegahnya dari syirik besar, tanpa syirik kecil, dan setelah itu dia tidak melakukan perkara yang membatalkannya, maka hal itu merupakan kebaikan yang tidak bisa ditandingi oleh kejelekan apapun juga. Sehingga timbangan kebaikannya menjadi berat dengan hal itu, sebagaimana tersebut di dalam hadits bithaqah, sehingga dia diharamkan dari neraka, tetapi derajatnya di surga berkurang sekadar dosa-dosanya.” (Fathul Majid I/139-140, tahqiq Dr. Al-Walid bin Abdurrahman bin Muhammad Aalu Furrayyan, penerbit: Majlis Islam Al-Asiawi).
Setelah kita mengetahui hal ini, maka hendaklah kita memperhatikan tauhid dengan sebenar-benarnya, memahaminya, dan mengamalkannya, sehingga kita meraih keutamaannya. Hanya Allah tempat memohon pertolongan.
Penulis: Ustadz Abu Isma’il Muslim Atsari (Anggotad Dewan Redaksi Majalah As-Sunnah, Pengasuh Ma’had Ibnu Abbas As-Salafy, Masaran, Sragen, Jawa Tengah)
Artikel www.muslim.or.id

Bahaya Bicara Agama Tanpa Ilmu

Memahami ilmu agama merupakan kewajiban atas setiap muslim dan muslimah. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim. [HR. Ibnu Majah no:224, dan lainnya dari Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani]
Dan agama adalah apa yang telah difirmankan oleh Alloh di dalam kitabNya, Al-Qur’anul Karim, dan disabdakan oleh RosulNya di dalam Sunnahnya. Oleh karena itulah termasuk kesalahan yang sangat berbahaya adalah berbicara masalah agama tanpa ilmu dari Alloh dan RosulNya.
Sebagai nasehat sesama umat Islam, di sini kami sampaikan di antara bahaya berbicara masalah agama tanpa ilmu:
1.Hal itu merupakan perkara tertinggi yang diharamkan oleh Allah.
Alloh Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” (Al-A’raf:33)
Syeikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz rohimahulloh berkata: “Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Alloh mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
Dan berbicara tentang Alloh tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim]
2. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dusta atas (nama) Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS. An-Nahl (16): 116)
3.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan kesesatan dan menyesatkan orang lain.
Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain. (HSR. Bukhari no:100, Muslim, dan lainnya)
Hadits ini menunjukkan bahwa “Barangsiapa tidak berilmu dan menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan tanpa ilmu, dan mengqias (membandingkan) dengan akalnya, sehingga mengharamkan apa yang Alloh halalkan dengan kebodohan, dan menghalalkan apa yang Allah haramkan dengan tanpa dia ketahui, maka inilah orang yang mengqias dengan akalnya, sehingga dia sesat dan menyesatkan. (Shahih Jami’il Ilmi Wa Fadhlihi, hal: 415, karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, diringkas oleh Syeikh Abul Asybal Az-Zuhairi)
4.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mengikuti hawa-nafsu.
Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rohimahulloh berkata: “Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya, dan Allah telah berfirman:
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللهِ
Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun (Al-Qashshash:50)” (Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393)
5.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mendahului Allah dan RasulNya.
Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Hujuraat: 1)
Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rohimahulloh berkata: “Ayat ini memuat adab terhadap Alloh dan RosulNya, juga pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan kepadanya. Alloh telah memerintahkan kepada para hambaNya yang beriman, dengan konsekwensi keimanan terhadap Alloh dan RosulNya, yaitu: menjalankan perintah-perintah Alloh dan menjauhi larangan-laranganNya. Dan agar mereka selalu berjalan mengikuti perintah Alloh dan Sunnah RosulNya di dalam seluruh perkara mereka. Dan agar mereka tidak mendahului Alloh dan RosulNya, sehingga janganlah mereka berkata, sampai Alloh berkata, dan janganlah mereka memerintah, sampai Alloh memerintah”. (Taisir Karimir Rahman, surat Al-Hujurat:1)
6.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu menanggung dosa-dosa orang-orang yang dia sesatkan.
Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah orang sesat dan mengajak kepada kesesatan, oleh karena itu dia menanggung dosa-dosa orang-orang yang telah dia sesatkan. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HSR. Muslim no:2674, dari Abu Hurairah)
7.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu akan dimintai tanggung-jawab.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al-Isra’ : 36)
Setelah menyebutkan pendapat para Salaf tentang ayat ini, imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: “Kesimpulan penjelasan yang mereka sebutkan adalah: bahwa Alloh Ta’ala melarang berbicara tanpa ilmu, yaitu (berbicara) hanya dengan persangkaan yang merupakan perkiraan dan khayalan.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, surat Al-Isra’:36)
8.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan.
Syeikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami menyatakan: “Fashal: Tentang Haramnya berbicara tentang Allah tanpa ilmu, dan haramnya berfatwa tentang agama Allah dengan apa yang menyelisihi nash-nash”. Kemudian beliau membawakan sejumlah ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah di bawah ini:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. 5:44)
9.Berbicara agama tanpa ilmu menyelisihi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rohimahulloh menyatakan di dalam aqidah Thahawiyahnya yang masyhur: “Dan kami berkata: “Wallahu A’lam (Allah Yang Mengetahui)”, terhadap perkara-perkara yang ilmunya samar bagi kami”. [Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393]
10.Berbicara agama tanpa ilmu merupakan perintah syaithan.
Allah berfirman:
إِنَّمَا يَأْمُرُكُم بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَآءِ وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan kepada Allah apa yang tidak kamu ketahui. (QS. 2:169)
Keterangan ini kami akhiri dengan nasehat: barangsiapa yang ingin bebicara masalah agama hendaklah dia belajar lebih dahulu. Kemudian hendaklah dia hanya berbicara berdasarkan ilmu. Wallohu a’lam bish showwab. Al-hamdulillah Rabbil ‘alamin.
Penulis: Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari
Artikel www.muslim.or.id

26 Mei 2011

Keutamaan Dzikir Ketika Keluar Rumah

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ فَقَالَ: “بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ” قَالَ: « يُقَالُ حِينَئِذٍ: هُدِيتَ وَكُفِيتَ وَوُقِيتَ. فَتَتَنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِينُ، فَيَقُولُ لَهُ شَيْطَانٌ آخَرُ: كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِىَ وَكُفِىَ وَوُقِىَ
“Jika seseorang keluar dari rumahnya lalu membaca (zikir): Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi, walaa haula wala quwwata illa billah (Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada-Nya, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya), maka malaikat akan berkata kepadanya: “(sungguh) kamu telah diberi petunjuk (oleh Allah Ta’ala), dicukupkan (dalam segala keperluanmu) dan dijaga (dari semua keburukan)”, sehingga setan-setanpun tidak bisa mendekatinya, dan setan yang lain berkata kepada temannya: Bagaimana (mungkin) kamu bisa (mencelakakan) seorang yang telah diberi petunjuk, dicukupkan dan dijaga (oleh Allah Ta’ala)?”[1].
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan orang yang mengucapkan zikir ini ketika keluar rumah, dan bahwa ini merupakan sebab dia diberi petunjuk, dicukupkan dan dijaga oleh Allah Ta’ala[2].
Beberapa faidah penting yang dapat kita ambil dari hadits ini:
- Keutamaan yang disebutkan dalam hadits ini akan diberikan kepada orang yang mengucapkan zikir ini dengan benar-benar merealisasikan konsekwensinya, yaitu berserah diri dan bersandar sepenuhnya kepada Allah Ta’ala[3].
- Syaitan tidak memiliki kemampuan untuk mencelakakan orang-orang yang benar-benar beriman dan bersandar sepenuhnya kepada Allah Ta’ala[4], sebagaimana firman-Nya:
{إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ * إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ}
Sesungguhnya syaitan itu tidak memiliki kekuasaan (untuk mencelakakan) orang-orang yang beriman dan bertawakkal (berserah diri) kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaan syaitan hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah” (QS an-Nahl: 99-100).
- Bertawakal (berserah diri dan bersandar sepenuhnya) kepada Allah Ta’ala merupakan sebab utama untuk mendapatkan petunjuk dan perlindungan Allah dalam semua urusan manusia. Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ}
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (segala keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya” (QS ath-Thalaaq: 3).
Artinya: Barangsiapa yang berserah diri dan bersandar sepenuhnya kepada Allah Ta’ala dalam semua urusan agama dan dunianya, yaitu dengan bersandar kepada-Nya dalam mengusahakan kebaikan bagi dirinya dan menolak keburukan dari dirinya, serta yakin dengan kemudahan yang akan diberikan-Nya, maka Allah Ta’ala akan memudahkan semua urusannya tersebut[5].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 30 Rabi’ul awal 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id

Dibukanya Pintu Keberkahan

Setelah proses rasa ‘sayang’ Allah kepada manusia selesai sehingga setiap individu mampu melahirkan fitrahnya, maka Allah akan menurunkan keberkahanNya. Keberkahan adalah wujud ‘kasih’ Allah yang sifatnya pemberian, berupa kedamaian dan kemakmuran di alam nyata dan di alam fana. Saat manusia masih dikendalikan nafsunya, ‘kasih’ yang diberikan Allah kepada manusia sifatnya adalah hutang sehingga manusia wajib mengembalikannya suatu saat nanti. Sedangkan ‘kasih’ yang sifatnya pemberian tidak dituntut untuk dikembalikan.
Energi yang selama ini kita habiskan untuk  menuruti nafsu bisa tersalurkan dengan benar. Energi kita akan bermanfaat untuk diri kita maupun orang lain. Segala persoalan yang selama ini harus kita selesaikan dengan sepuluh langkah, oelh Allah akan diberikan kemudahan sehingga bisa selesai hanya dengan dua langkah. Kesulitan akan berganti dengan kemudahan.
Manusia yang di dalam dirinya masih terkendali oleh nafsu jangan berharap bisa mewujudkan kedamaian dan kemakmuran. Selama ini nafsu sudah diberi kesempatan untuk menguasai dunia namun yang terjadi justru pertempuran yang tidak ada putusnya, alam rusak dan digunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Hak-hak Allah digunakan untuk menyaingi Allah.
Sekarang saatnya nafsu yang ada di dalam diri manusia dipimpin oleh fitrah. Pertempuran besar ini harus dilakukan oleh setiap individu manusia untuk menjadikan masing-masing individu menjadi manusia yang mampu melaksanakan hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia secara benar. Perang inilah yang disebut ‘jihad besar’ yaitu perang melawan diri kita sendiri karena nafsu dan fitrah letaknya juga di dalam diri kita.
Setelah kita menang melawan nafsu, kita akan dibimbing oleh fitrah dan Malaikat Muqorrobin untuk mampu mengetahui ilmu kebaikan yang bisa disempurnakan menjadi ilmu kebenaran. Ilmu kebaikan yang tidak bisa disempurnakan menjadi ilmu kebenaran akan dikembalikan kepada Zat Maha Pencipta. Yang berhak mengembalikannya adalah utusan Allah melalui rohani kita yaitu para malaikat.
Setelah setiap individu mampu mengerti dan memahami ilmu kebenaran maka setiap individu akan mampu melaksanakan 'delapan langkah’. Angka delapan merupakan angka yang tidak terputus dan merupakan angka simbol kebenaran. Langkah tersebut adalah:
  1. Bermanfaat buat pribadi
  2. Bermanfaat buat sesama
  3. Secara lahir
  4. Secara batin
  5. Dengan niat hanya karena Allah
  6. Sadar
  7. Tabah
  8. Sabar

20 Apr 2011

MENGENAL ISLAM

Oleh: Mochamad Bugi & Aus Hidayat

Islam adalah agama yang dibawa oleh seluruh nabi dan rasul. Dimulai dari Nabi Adam a.s. dan Nabi Muhammad saw. menjadi penutup seluruh risalah. Allah swt. menegaskan hal ini melalui lisan para nabi. Misalnya dari lisan Nabi Nuh a.s. sendiri kita mendapat informasi bahwa Allah menyuruhnya menjadi muslim. “… dan aku disuruh supaya tergolong menjadi orang-orang yang berserah diri kepada Allah (muslim).” (Yunus: 72)

Islam Agama Para Nabi dan Rasul

Islam adalah agama yang dibawa oleh seluruh nabi dan rasul. Dimulai dari Nabi Adam a.s. dan Nabi Muhammad saw. menjadi penutup seluruh risalah. Allah swt. menegaskan hal ini melalui lisan para nabi. Misalnya dari lisan Nabi Nuh a.s. sendiri kita mendapat informasi bahwa Allah menyuruhnya menjadi muslim. “… dan aku disuruh supaya tergolong menjadi orang-orang yang berserah diri kepada Allah (muslim).” (Yunus: 72)

Hal yang sama juga keluar dari lisan Nabi Ibrahim dan Isma’il. “Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua sebagai orang-orang yang berserah diri kepada-Mu (muslim)….” (Al-Baqarah: 128).
Dan, agama Islam-lah yang diwasiatkan Nabi Ya’qub kepada anak-anaknya. “Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama (Islam) untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaaan tetap memeluk agama Islam.” (Al-Baqarah: 132).
Nabi Musa a.s. pun menekankan hal yang sama kepada para pengikutnya. “… maka hendaklah hanya kepada-Nya kamu bertawakal jika kamu benar-benar muslim (orang yang berserah diri kepada-Nya).”
Karena itu tak heran jika Nabi Yusuf a.s. sangat berharap mati dalam keadaan Islam. “… wafatkanlah aku sebagai seorang muslim, dan gabungkan aku bersama orang-orang yang shalih.” (Yusuf: 10).
Itu juga yang diminta diminta para ahli sihir Fir’aun yang bertaubat dan beriman kepada Allah saat kalah melawan Musa a.s. lalu dihukum salib oleh Fir’aun. “Ya Rabb kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan Islam (berserah diri sepenuhnya kepada-Mu).” (Al-A’raf: 126).
Hawariyin (pengikut setia Nabi Isa a.s.) pun menegaskan identitas keimanan mereka sebagai orang Islam. “Kami beriman kepada Allah dan kami bersaksi sesungguhnya kami adalah muslim (orang-orang yang berserah diri).” (Ali Imran: 52).
Ratu Saba’ menegaskan hal yang sama bahwa ia telah beriman kepada Allah dan telah menjadi seorang muslimah. Wa aslamtu ma’a Sulaiman lillahi rabbil alamiin “… dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Rabb semesta alam.” (An-Naml: 44)
Rasulullah saw. menegaskan bahwa agama para nabi dan rasul adalah satu: Islam. “Nabi-nabi itu bersaudara lain ibu. Ibunya berbeda-beda, tetapi agamanya satu,” begitu kata beliau.
Wa diinuhum waahidan yang dikatakan Rasulullah saw. adalah sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh Allah swt. dalam Al-Qur’an. “Dia telah mensyariatkan agama kepadamu, sebagaimana yang diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan yang telah diwahyukan kepadamu dan Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kamu bercerai-berai di dalamnya….” (Asy-Syura: 13).

Makna Islam

Islam adalah menyerahkan diri kepada Allah swt. dengan menerima segala perintah, larangan, dan kabar-Nya yang terdapat dalam wahyu. Siapa yang menyerahkan wajah, hati, dan anggota badannya kepada Allah swt. dalam semua aspek kehidupan, maka ia adalah seorang muslim.
Para nabi dan rasul adalah orang-orang muslim terdepan yang paling menyerahkan diri kepada Allah swt. “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb alam semesta. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dan dengan itu aku diperintahkan, dan aku adalah orang-orang Islam pertama,” begitu senandung mereka. (lihat Al-An’am: 162-163 dan lihat juga Al-A’raf: 143).

Tidak menyerahkan diri secara total kepada Allah swt. dan tidak menerima hukum-hukum-Nya untuk diaplikasikan dalam kehidupan, kita belum dianggap Islam. Hal ini termaktub dalam pernyataan Allah swt. Al-Qur’an ketika ada yang menolak Rasulullah menerapkan hukum seperti yang telah Allah tetapkan. “Maka demi Rabb-mu, nereka tidak beriman (sebenarnya) hingga mereka menjadikan kamu hakim untuk memutuskan perselisihan di antara mereka, kemudian mereka tidak merasa dalam dirinya keberatan dalam putusanmu, dan mereka menerima dengan sepenuh hati.” (An-Nisa: 65).

Hukum-hukum Allah hanya dapat diketahui dengan perantara wahyu yang sampai kepada kita melalui para rasul yang jujur. Jika manusia punya logika yang jernih, tidak ada alasan baginya untuk tidak menerima dan melaksanakan hukum-hukum Allah. Sebab, Allah yang menciptakan kita. Sudah seharusnya kita tunduk dan patuh kepada Sang Pencipta. Konsekuensi menjadi hamba adalah mentaati peraturan yang ditetapkan oleh Allah swt. Dan, sudah pasti aturan-aturan itu adalah kaidah-kaidah yang sesuai dengan karakteristik kita sebagai manusia karena dibuat oleh Allah Yang Mengetahui segala sesuatu lagi Maha Bijaksana.
Nabi Diutus ke Semua Umat

Kedamaian hidup manusia sangat ditentukan oleh penyerahan dirinya secara total kepada Allah swt. Karena itu, Allah tidak membiarkan satu umat pun tanpa didatangi rasul. “… dan setiap umat mempunyai seorang pemberi peringatan” (Al-Fathir: 24). “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada setiap umat (yang menyeru) sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut…” (An-Nahl: 36). “Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa mereka, agar ia dapat memberi penjelasan yang terang kepada mereka…” (Ibrahim: 4).
Rasululah saw. pernah menjelaskan kedudukan umatnya terhadap umat-umat nabi sebelumnya. Kata beliau, “Kamu sekalian menyempurnakan 70 umat, dan kamu adalah yang sebaik-baik dan semulia-mulia umat di sisi Allah.” (Tirmidzi).

Jadi, sangat keliru jika ada yang berasumsi bahwa para rasul hanya diutus kepada umat tertentu saja dan di kawasan lain tidak pernah diutus rasul. Sebab, secara tegas Allah menyatakan kepada semua umat manusia telah sampai risalah dan ada rasul di antara mereka. Hanya saja kita tidak boleh gegagah menyatakan bahwa si A adalah rasul yang diutus Allah untuk orang-orang Persia, si B nabi untuk orang Cina, si C untuk orang India; si D nabi penduduk asli pedalaman Amerika; kecuali ada wahyu yang mengabarkannya kepada kita.
Apakah Zaratusta nabi untuk orang Persia kuno? Tidak ada nash yang menerangkan hal itu kepada kita. Tapi, kita yakin bahwa orang-orang Persia kuno pernah punya rasul yang memberi peringatan kepada mereka. Hanya saja, kata Ibnu Abbas, “Ketika nabi yang diutus kepada penduduk Persia wafat, Iblis menulis (mengajarkan) agama Majusi kepada mereka.” (Abu Dawud. Lihat Jami’ul Ushul).


Islam Untuk Seluruh Manusia

Kata Islam punya dua makna. Pertama, nash (teks) wahyu yang menjelaskan din (agama) Allah. Kedua, Islam merujuk pada amal manusia, yaitu keimanan dan ketundukan manusia kepada nash (teks) wahyu yang berisi ajaran din (agama) Allah.
Berdasarkan makna pertama, Islam yang dibawa satu rasul berbeda dengan yang dibawa rasul lainnya, dalam hal keluasan dan keuniversalannya. Meskipun demikian dalam permasalah fundamental dan prinsip tetap sama. Islam yang dibawa Nabi Musa lebih luas dibandingkan yang dibawa Nabi Nuh. Karena itu, tak heran jika Al-Qur’an pun menyebut-nyebut tentang Taurat. Misalnya di ayat 145 surat Al-A’raf. Dan telah Kami tuliskan untuk Musa di Luh-luh (Taurat) tentang segala sesuatu sebagai peringatan dan penjelasan bagi segala sesuatunya.…
Islam yang dibawa Nabi Muhammad lebih luas lagi daripada yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya. Apalagi nabi-nabi sebelumnya diutus hanya untuk kaumnya sendiri. Nabi Muhammad diutus untuk seluruh umat manusia. Oleh karena itu, Islam yang dibawanya lebih luas dan menyeluruh. Tak heran jika Al-Qur’an bisa menjelaskan dan menunjukkan tentang segala sesuatu kepada manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab sebagai penjelas segala sesuatu. (An-Nahl: 89)
Dengan kesempurnaan risalah Nabi Muhammad saw., sempurnalah struktur kenabian dan risalah samawiyah (langit). Kita yang hidup setelah Nabi Muhammad diutus, telah diberi petunjuk oleh Allah tentang semua tradisi para nabi dan rasul yang sebelumnya. Allah swt. menyatakan hal ini di Al-Qur’an. Mereka orang-orang yang telah diberikan petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. (Al-An’am: 90). Dan kamu diberi petunjuk tentang sunah-sunah orang-orang yang sebelum kamu. (An-Nisa: 20)
Sedangkan tentang telah sempurnanya risalah agama-Nya, Allah menyatakan dalam surat Al-Maidah ayat 3. Pada Hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku, dan Aku ridha Islam sebagai agama bagimu sekalian….
Rasulullah saw. menjelaskan bahwa risalah yang dibawanya adalah satu kesatuan dengan risalah yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya. “Perumpamaanku dan perumpamaan nabi-nabi sebelumku ibarat orang yang membangun sebuah rumah. Ia memperindah dan mempercantik rumah itu, kecuali letak batu bata pada salah satu sisi bangunannya. Kemudian manusia mengelilingi dan mengagumi rumah itu, lalu mengatakan: ‘Alangkah indah jika batu ini dipasang!’ Aku adalah batu bata tersebut dan aku adalah penutup para nabi,” begitu sabda Rasulullah saw. (Bukhari dan Muslim)

Agama Selain Islam Ditolak

Sempurna dan lengkapnya risalah agama langit yang Allah proklamasikan pada haji wada’ dengan ayat 3 surat Al-Maidah –yang juga sebagai wahyu terakhir turun–, mengharuskan seluruh manusia tunduk pada Islam. Semua syariat yang terdahulu dengan sendirinya mansukh (terhapus). Dan, tidak akan ada lagi syariat baru sesudah risalah yang dibawa Nabi Muhammad. Risalah dan kenabian telah ditutup dengan diutusnya Nabi Muhammad. ….tetapi ia (Nabi Muhammad) sebagai utusan Alah dan penutup nabi-nabi… (Al-Ahzab: 40). Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (Al-A’raf: 158). Dan Kami tidak mengutus kamu kecuali untuk seluruh manusia sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. (Saba: 28). Dan tidaklah Kami mengutusmu, kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. (Al-Anbiya’: 107).

Karenanya, Dan barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima (agama itu) daripadanya. (Ali Imran: 85). Sebab, sesungguhnya agama yang diridhai Allah adalah Islam. (Ali Imran: 19).

Maka, siapa saja yang tidak mengikuti ajaran Nabi Muhammad, ia akan celaka dan menjadi orang yang sesat. Kata Rasulullah saw., “Demi Dzat yang diriku dalam genggaman-Nya, tidak seorang pun dari umat ini, baik Yahudi atau Nasrani, mendengar (berita kerasulan)-ku, kemudian ia tidak beriman kepada apa yang aku bawa, kecuali ia sebagai ahli neraka.” (Muslim)
Allah menegaskan dalam Al-Qur’am, “Barangsiapa menentang Rasul sesudah nyata petunjuk baginya dan mengikuti bukan jalan orang-orang mukmin, niscaya Kami angkat dia menjadi pemimpin apa yang dipimpinnya dan Kami masukkan ke dalam neraka jahanam. Itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115).

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasu-Nya dan hendak membedakan antara (keimanan kepada) Allah dan Rasul-Nya, mereka berkata, kami beriman kepada setengah (Rasul) dan kafir kepada yang lain, dan mereka hendak mengambil jalan tengah (netral) antara yang demikian itu. Mereka itu ialah orang-orang kafir yang sebenarnya, dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir itu siksaan yang menghinakan (An-Nisa:150-151).
Risalah yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad telah banyak dilupakan, diselewengkan, diubah, dan ajarannya yang haq telah dihapus. Sehingga, melekatlah kebatilan di kalangan para pemeluknya, baik dalam masalah akidah, ibadah, dan perilakunya. Sementara, Islam adalah agama yang sumber ajarannya, Al-Qur’an dan Hadits, terjaga keshahihannya. Sanadnya tersambung kepada Rasulullah saw. Apakah ada pilihan bagi kita yang ingin berislam kepada Allah swt selain dengan mengikuti risalah yang dibawa Nabi Muhammad? Tentu saja tidak.
Allah berfirman, “Hai ahli kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul Kami, yang menerangkan (syariat Kami) kepadamu ketika rasul-rasul telah putus supaya kamu tidak berkata, ‘Tidak datang kepada kami pemberi kabar gembira dan tidak pula memberi peringatan.’ Allah MahaTahu atas segala sesuatu.” (Al_maidah: 19)

Sumber Ajaran Islam

Isi ajaran Islam yang diserukan Nabi Muhammad dapat diketahui dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah diakui keabsahannya oleh para ulama hadits. Islam yang dibawa Nabi Muhammad merupakan hidayah yang sempurna bagi seluruh umat manusia. Allah menurunkan Islam ini secara sempurna dan menyeluruh sehingga tidak ada satu persoalan pun yang menyangkut kehidupan manusia yang tidak diatur. Islam memuat aspek hukum –halal-haram, mubah-makruh, fardhu-sunnah—juga menyangkut masalah akidah, ibadah, politik, ekonomi, perang, damai, perundangan, dan semua konsep hidup manusia.
Begitulah yang Allah katakan tentang Al-Qur’an. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab sebagai penjelas segala sesuatu. (An-Nahl: 89). Dan sebagai pemerinci terhadap segala sesuatu. (Al-A’raf: 145)

Sedangkan yang belum dijelaskan secara gamblang dan rinci dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dapat diketahui dengan jalan pengambilan hukum oleh para mujtahid umat Islam (istimbath).
Kitab dan Sunah telah menjelaskan semua persoalan yang terkait dengan akidah, ibadah, ekonomi, sosial kemasyarakatan, perang dan damai, perundang-undangan dan kehakiman, ilmu, pendidikan dan kebudayaan, serta hukum dan pemerintahan. Para ahli fiqh membuat klasifikasi ajaran Islam ke dalam persoalan akidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan uqubah (sanksi hukum).
Yang termasuk dalam urusan akidah adalah masalah hukum dan pemerintahan. Masalah akhlak adalah masalah tata karma. Sedangkan yang masuk ke dalam urusan ibadah adalah masalah shalat, zakat, puasa, haji, dan jihad. Muamalah menyangkut urusan transaksi keuangan, nikah dna segala persoalannya, soal-soal konflik, amanah dan harta warisan. Sedangkan yang masuk dalam kategori uqubah adalah persoalan qishash, hukuman bagi pencuri, pezina, tuduhan zina, dan murtad.

Arti Nama Islam

Di antara keistimewaan agama Islam adalah namanya. Berbeda dengan agama lain, nama agama ini bukan berasal dari nama pendirinya atau nama tempat penyebarannya. Tapi, nama Islam menunjukkan sikap dan sifat pemeluknya terhadap Allah.

Yang memberi nama Islam juga bukan seseorang, bukan pula suatu masyarakat, tapi Allah Ta’ala, Pencipta alam semesta dan segala isinya. Jadi, Islam sudah dikenal sejak sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw. dengan nama yang diberikan Allah.
Islam berasal dari kata salima yuslimu istislaam –artinya tunduk atau patuh– selain yaslamu salaam –yang berarti selamat, sejahtera, atau damai. Menurut bahasa Arab, pecahan kata Islam mengandung pengertian: islamul wajh (ikhlas menyerahkan diri kepada Allah), istislama (tunduk secara total kepada Allah), salaamah atau saliim (suci dan bersih), salaam (selamat sejahtera), dan silm (tenang dan damai). Semua pengertian itu digunakan Alquran seperti di ayat-ayat berikut ini.

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا

Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya. (An-Nisa’: 125)

أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ

Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan Hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan. (Ali Imran: 83)

إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (Asy-Syu’araa’: 89)

وَإِذَا جَاءَكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِآَيَاتِنَا فَقُلْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ سُوءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami itu datang kepadamu, Maka Katakanlah: “Salaamun alaikum (Mudah-mudahan Allah melimpahkan kesejahteraan atas kamu).” Tuhanmu Telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-An’am: 54)

فَلَا تَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ وَاللَّهُ مَعَكُمْ وَلَنْ يَتِرَكُمْ أَعْمَالَكُمْ

Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah pun bersamamu dan dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu. (Muhammad: 35)
Sementara sebagai istilah, Islam memiliki arti: tunduk dan menerima segala perintah dan larangan Allah yang terdapat dalam wahyu yang diturunkan Allah kepada para Nabi dan Rasul yang terhimpun di dalam Alquran dan Sunnah. Manusia yang menerima ajaran Islam disebut muslim. Seorang muslim mengikuti ajaran Islam secara total dan perbuatannya membawa perdamaian dan keselamatan bagi manusia. Dia terikat untuk mengimani, menghayati, dan mengamalkan Alquran dan Sunnah.

Kalimatul Islam (kata Al-Islam) mengandung pengertian dan prinsip-prinsip yang dapat didefinisikan secara terpisah dan bila dipahami secara menyeluruh merupakan pengertian yang utuh.


sumber : http://www.dakwatuna.com/index.php/aqidah-muslim/2007/mengenal-islam/

Rintihan Seorang Ibu

Untuk anakku yang ku sayangi di bumi Allah ta’ala
Segala puji ku panjatkan ke hadirat Allah ta’ala, yang telah memudahkan ibu untuk beribadah kepada-Nya.
Sholawat serta salam, ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-, keluarga, dan para sahabatnya.

Wahai anakku …
Surat ini datang dari ibumu, yang selalu dirundung sengsara. Setelah berpikir panjang, ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri ini.
Setiap kali menulis, setiap itu pula gores tulisan ini terhalangi oleh tangis. Dan setiap kali menitikkan air mata, setiap itu pula, hati ini terluka.
Wahai anakku …
Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak. Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau akan remas kertas ini, lalu engkau robek-robek, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati ibu, dan telah engkau robek pula perasaannya.
Wahai anakku …
25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dalam kehidupanku.
Suatu ketika dokter datang menyampaikan tentang kehamilanku, dan semua ibu sangat mengerti arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini, sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi ibu.
Semenjak kabar gembira tersebut, aku membawamu sembilan bulan. Tidur, berdiri, makan, dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi, itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.
Aku mengandungmu wahai anakku, pada kondisi lemah di atas lemah. Bersamaan dengan itu, aku begitu gembira tatkala merasakan dan melihat terjalan kakimu, atau balikan badanmu di perutku.
Aku merasa puas, setiap aku menimbang diriku, karena bila semakin hari semakin berat perutku, berarti dengan begitu engkau sehat wal afiat di dalam rahimku.
Anakku …
Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah tiba pada malam itu, yang aku tidak bisa tidur sekejap pun, aku merasakan sakit yang tidak tertahankan, dan merasakan takut yang tidak bisa dilukiskan.
Sakit itu berlanjut, sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis. Sebanyak itu pula, aku melihat kematian di hadapanku, hingga tibalah waktunya engkau keluar ke dunia, dan engkau lahir. Bercampur air mata kebahagiaanku dengan air mata tangismu.
Ketika engkau lahir, menetes air mata bahagiaku. Dengan itu, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku kepadamu semakin bertambah, dengan bertambah kuatnya sakit.
Aku raih dirimu, sebelum ku raih minuman. Aku peluk cium dirimu, sebelum meneguk satu tetes air yang ada di kerongkongan.

Wahai anakku …
Telah berlalu setahun dari usiamu. Aku membawamu dengan hatiku, memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Sari pati hidupku, kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur, demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu. Harapanku pada setiap harinya, agar aku selalu melihat senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat, adalah setiap permintaanmu agar aku berbuat sesuatu untukmu. Itulah kebahagiaanku.
Lalu berlalulah waktu, hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, selama itu pula, aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai… menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti… menjadi pekerjamu yang tidak pernah lelah… dan mendoakan selalu kebaikan dan taufiq untukmu.
Aku selau memperhatikan dirimu, hari demi hari, hingga engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu, wahai anakku…
Tatkala itu, aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan, demi mencari pasangan hidupmu, semakin dekat hari perkawinanmu anakku, semakin dekat pula hari kepergianmu.
Tatkala itu, hatiku serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan duka. Tangis telah bercampur pula dengan tawa.
Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan… karena engkau telah mendapatkan jodoh… karena engkau telah mendapatkan pendamping hidup… Sedangkan sedih karena engkau adalah pelipur hatiku, yang akan berpisah sebentar lagi dari diriku.
Waktu pun berlalu, seakan-akan aku menyeretnya dengan berat, kiranya setelah perkawinan itu, aku tidak lagi mengenal dirimu.
Senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihanku, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam, seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang berguguran, aku benar-benar tidak mengenalmu lagi, karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.
Terasa lama hari-hari yang ku lewati, hanya untuk melihat rupamu. Detik demi detik ku hitung demi mendengar suaramu. Akan tetapi penantianku seakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu, aku menyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu. Setiap kali telepon berdering, aku merasa bahwa engkau yang akan menelponku. Setiap suara kendaraan yang lewat, aku merasa bahwa engkaulah yang datang.
Akan tetapi semua itu tidak ada, penantianku sia-sia, dan harapanku hancur berkeping. Yang ada hanya keputus-asaan… Yang tersisa hanya kesedihan dari semua keletihan yang selama ini ku rasakan, sambil menangisi diri dan nasib yang memang ditakdirkan oleh-Nya.
Anakku…
Ibumu tidaklah meminta banyak, ia tidaklah menagih padamu yang bukan-bukan.
Yang ibu pinta kepadamu:
Jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu.
Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar bisa juga aku menatap wajahmu, agar ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia masa kecilmu.
Dan ibu memohon kepadamu nak, janganlah engkau pasang jerat permusuhan dengan ibumu.
Jangan engkau buang wajahmu, ketika ibumu hendak memandang wajahmu.
Yang ibu tagih kepadamu:
Jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu, agar engkau dapat sekali-kali singgah ke sana, sekalipun hanya sedetik.
Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi. Atau sekiranya terpaksa engkau datang sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.
Anakku…
Telah bungkuk pula punggungku… bergemetar tanganku… karena badanku telah dimakan oleh usia, dan telah digerogoti oleh penyakit… Berdirinya seharusnya telah dipapah… duduk pun seharusnya dibopong…
Akan tetapi, yang tidak pernah sirna -wahai anakku- adalah cintaku kepadamu… masih seperti dulu… masih seperti lautan yang tidak pernah kering… masih seperti angin yang tidak pernah berhenti…
Sekiranya engkau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya engkau akan balas kebaikan dengan kebaikan, sedangkan ibumu, mana balas budimu, mana balasan baikmu?! bukankah air susu seharusnya dibalas dengan air serupa?! bukan sebaliknya air susu dibalas dengan air tuba?! Dan bukankah Alloh ta’ala, telah berfirman:
هل جزاء الإحسان إلا الإحسان
Bukankah balasan kebaikan, melainkan kebaikan yang serupa?!
Sampai begitukah keras hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu setelah berlalunya hari dan berselangnya waktu.
Wahai anakku…
Setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, setiap itu pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak?! Karena engkau adalah buah dari kedua tanganku… Engkau adalah hasil dari keletihanku… Engkaulah laba dari semua usahaku…
Dosa apakah yang telah ku perbuat, sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu?!
Pernahkah suatu hari aku salah dalam bergaul denganmu?!
Atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu?!
Tidak dapatkah engkau menjadikanku pembantu yang terhina dari sekian banyak pembantu-pembantumu yang mereka semua telah engkau beri upah?!
Tidak dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku di bawah naungan kebesaranmu?!
Dapatkah engkau sekarang menganugerahkan sedikit kasih sayang demi mengobati derita orang tua yang malang ini?!
إن الله يحب المحسنين
Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang berbuat baik.
Wahai anakku…
Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan yang lain.
Wahai anakku…
Hatiku terasa teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau sehat wal afiat. Orang-orang sering mengatakan, bahwa engkau adalah laki-laki yang supel, dermawan dan berbudi.
Wahai anakku…
Apakah hatimu tidak tersentuh, terhadap seorang wanita tua yang lemah, binasa dimakan oleh rindu berselimutkan kesedihan, dan berpakaian kedukaan?!
Mengapa? Tahukah engkau itu?! Karena engkau telah berhasil mengalirkan air matanya… Karena engkau telah membalasnya dengan luka di hatinya… Karena engkau telah pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu tepat menghujam jantungnya… Karena engkau telah berhasil pula memutuskan tali silaturrahim.
Wahai anakku…
Ibumu inilah sebenarnya pintu surga, maka titilah jembatan itu menujunya… Lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, kemaafan, dan balas budi yang baik… Semoga aku bertemu denganmu di sana, dengan kasih sayang Alloh ta’ala sebagaimana di dalam hadits:
الوالد أوسط أبواب الجنة فإن شئت فأضع ذلك الباب أو احفظه
Orang tua adalah pintu surga yang paling tinggi. Sekiranya engkau mau, sia-siakanlah pintu itu, atau jagalah! (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi, dishohihkan oleh Albani)
Anakku…
Aku mengenalmu sejak dahulu… semenjak engkau telah beranjak dewasa… aku tahu engkau sangat tamak dengan pahala… engkau selalu cerita tentang keuatamaan berjamaah… engkau selalu bercerita terhadapku tentang keutamaan shof pertama dalam sholat berjamaah… engkau selalu mengatakan tentang keutamaan infak, dan bersedekah…
Akan tetapi satu hadits yang telah engkau lupakan… satu keutamaan besar yang telah engkau lalaikan… yaitu bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- telah bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdulloh bin Mas’ud, ia mengatakan:
سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم، قلت: يا رسول الله أي العمل أفضل؟ قال: الصلاة على ميقاتها. قلت: ثم أيُّ؟ قال: ثم بر الوالدين. قلت: ثم أيُّ؟ قال: الجهاد في سبيل الله. فسكت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ولو استزدته لزادني. (متفق عليه)
Aku bertanya kepada Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-: Wahai Rosululloh, amal apa yang paling mulia? Beliau menjawab: sholat pada waktunya. Aku bertanya lagi: Kemudian apa wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Kemudian berbakti kepada kedua orang tua. Aku bertanya lagi: Kemudian apa wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Kemudian jihad di jalan Alloh. Lalu aku pun diam (tidak bertanya) kepada Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- lagi, dan sekiranya aku bertanya lagi, niscaya beliau akan menjawabnya.
Itulah hadits Abdulloh bin Mas’ud…
Wahai anakku…
Inilah aku, ibumu… pahalamu… tanpa engkau harus memerdekakan budak atau banyak-banyak berinfak dan bersedekah… aku inilah pahalamu…
Pernahkah engkau mendengar, seorang suami yang meninggalkan keluarga dan anak-anaknya, berangkat jauh ke negeri seberang, ke negeri entah berantah untuk mencari tambang emas, guna menghidupi keluarganya?! Dia salami satu persatu, dia ciumi isterinya, dia sayangi anaknya, dia mengatakan: Ayah kalian, wahai anak-anakku, akan berangkat ke negeri yang ayah sendiri tidak tahu, ayah akan mencari emas… Rumah kita yang reot ini, jagalah… Ibu kalian yang tua renta ini, jagalah…
Berangkatlah suami tersebut, suami yang berharap pergi jauh, untuk mendapatkan emas, guna membesarkan anak-anaknya, untuk membangun istana mengganti rumah reotnya.
Akan tetapi apa yang terjadi, setelah tiga puluh tahun dalam perantauan, yang ia bawa hanya tangan hampa dan kegagalan. Dia gagal dalam usahanya. Pulanglah ia kembali ke kampungnya. Dan sampailah ia ke tempat dusun yang selama ini ia tinggal.
Apa lagi yang terjadi di tempat itu, setibanya di lokasi rumahnya, matanya terbelalak. Ia melihat, tidak lagi gubuk reot yang ditempati oleh anak-anak dan keluarganya. Akan tetapi dia melihat, sebuah perusahaan besar, tambang emas yang besar. Jadi ia mencari emas jauh di negeri orang, kiranya orang mencari emas dekat di tempat ia tinggal.
Itulah perumpaanmu dengan kebaikan, wahai anakku…
Engkau berletih mencari pahala… engkau telah beramal banyak… tapi engkau telah lupa bahwa di dekatmu ada pahala yang maha besar… di sampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu masuk surga…
Ibumu adalah orang yang dapat menghalangimu untuk masuk surga, atau mempercepat amalmu masuk surga… Bukankah ridloku adalah keridloan Alloh?! Dan bukankan murkaku adalah kemurkaan Alloh?!
Anakku…
Aku takut, engkaulah yang dimaksud oleh Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam- di dalam haditsnya:
رغم أنفه ثم رغم أنفه ثم رغم أنفه قيل من يا رسول الله قال من أدرك والديه عند الكبر أحدهما أو كليهما ثم لم يدخل الجنة (رواه مسلم)
Celakalah seseorang, celakalah seseorang, dan celakalah seseorang! Ada yang bertanya: Siapakah dia wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Dialah orang yang mendapati orang tuanya saat tua, salah satu darinya atau keduanya, akan tetapi tidak membuat dia masuk surga. (HR. Muslim 2551)
Celakalah seorang anak, jika ia mendapatkan kedua orang tuanya, hidup bersamanya, berteman dengannya, melihat wajahnya, akan tetapi tidak memasukkan dia ke surga.
Anakku…
Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit, aku tidak akan adukan duka ini kepada Alloh, karena jika seandainya keluhan ini telah membumbung menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu kebinasaan dan kesengsaraan, yang tidak ada obatnya dan tidak ada tabib yang dapat menyembuhkannya…
Aku tidak akan melakukannya wahai anakku… tidak… bagaimana aku akan melakukannya, sedangkan engkau adalah jantung hatiku… bagaimana ibu ini kuat menengadahkan tangannya ke langit, sedangkan engkau adalah pelipur lara hatiku… bagaimana ibu tega melihatmu merana terkena doa mustajab, padahal engkau bagiku adalah kebahagiaan hidupku…
Bangunlah nak… bangunlah… bangkitlah nak… bangkitlah… uban-uban sudah mulai merambat di kepalamu. Akan berlalu masa, sehingga engkau akan menjadi tua pula.
الجزاء من جنس العمل
Sebagaimana engkau akan berbuat, seperti itu pula orang akan berbuat kepadamu.
الجزاء من جنس العمل
Ganjaran itu sesuai dengan amal yang engkau telah tanamkan. Engkau akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam.
Aku tidak ingin engkau menulis surat ini… aku tidak ingin engkau menulis surat yang sama, dengan air matamu kepada anak-anakmu, sebagaimana aku telah menulisnya kepadamu.
Wahai anakmu…
Bertakwalah kepada Allah… takutlah engkau kepada Allah… berbaktilah kepada ibumu… peganglah kakinya, sesungguhnya surga berada di kakinya… basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya… kencangkan tulang ringkihnya… dan kokohkan badannya yang telah lapuk…
Anakku…
Setelah engkau membaca surat ini, terserah padamu. Apakah engkau sadar dan engkau akan kembali, atau engkau akan merobeknya.
Wa shollallohu ala nabiyyina muhammadin wa ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Dari Ibumu yang merana.
(Disadur dari kajian Ustadz Armen -rohimahulloh- oleh ustadz Abu Abdillah Ad-Daariny, Lc)
Sumber: http://firanda.com/index.php/artikel/renungan/152-rintihan-seorang-ibu
Artikel www.muslim.or.id

31 Mar 2011

SYUKUR DIKALA MERAIH SUKSES

Di kala impian belum terwujud, kita selalu banyak memohon dan terus bersabar menantinya. Namun di kala impian sukses tercapai, kadang kita malah lupa daratan dan melupakan Yang Di Atas yang telah memberikan berbagai kenikmatan. Oleh karenanya, apa kiat ketika kita telah mencapai hasil yang kita idam-idamkan? Itulah yang sedikit akan kami kupas dalam tulisan sederhana  ini.
Akui Setiap Nikmat Berasal dari-Nya
Inilah yang harus diakui oleh setiap orang yang mendapatkan nikmat. Nikmat adalah segala apa yang diinginkan dan dicari-cari. Nikmat ini harus diakui bahwa semuanya berasal dari Allah Ta’ala dan jangan berlaku angkuh dengan menyatakan ini berasal dari usahanya semata atau ia memang pantas mendapatkannya. Coba kita renungkan firman Allah Ta’ala,
لا يَسْأَمُ الإنْسَانُ مِنْ دُعَاءِ الْخَيْرِ وَإِنْ مَسَّهُ الشَّرُّ فَيَئُوسٌ قَنُوطٌ
Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan.” (QS. Fushshilat: 49). Atau pada ayat lainnya,
وَإِذَا أَنْعَمْنَا عَلَى الْإِنْسَانِ أَعْرَضَ وَنَأَى بِجَانِبِهِ وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُو دُعَاءٍ عَرِيضٍ
Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka, maka ia banyak berdoa.” (QS. Fushshilat: 51)
Inilah tabiat manusia, yang selalu tidak sabar jika ditimpa kebaikan atau kejelekan. Ia akan selalu berdo’a pada Allah agar diberikan kekayaan, harta, anak keturunan, dan hal dunia lainnya yang ia cari-cari. Dirinya tidak bisa merasa puas dengan yang sedikit. Atau jika sudah diberi lebih pun, dirinya akan selalu menambah lebih. Ketika ia ditimpa malapetaka (sakit dan kefakiran), ia pun putus asa. Namun lihatlah bagaimana jika ia mendapatkan nikmat setelah itu? Bagaimana jika ia diberi kekayaan dan kesehatan setelah itu? Ia pun lalai dari bersyukur pada Allah, bahkan ia pun melampaui batas sampai menyatakan semua rahmat (sehat dan kekayaan) itu didapat karena ia memang pantas memperolehnya. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala,
وَلَئِنْ أَذَقْنَاهُ رَحْمَةً مِنَّا مِنْ بَعْدِ ضَرَّاءَ مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ هَذَا لِي
Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: “Ini adalah hakku.”(QS. Fushshilat: 50)
Sifat orang beriman tentu saja jika ia diberi suatu nikmat dan kesuksesan yang ia idam-idamkan, ia pun bersyukur pada Allah. Bahkan ia pun khawatir jangan-jangan ini adalah istidroj (cobaan yang akan membuat ia semakin larut dalam kemaksiatan yang ia terjang). Sedangkan jika hamba tersebut tertimpa musibah pada harta dan anak keturunannya, ia pun bersabar dan berharap karunia Allah agar lepas dari kesulitan serta ia tidak berputus asa.[1]
Ucapkanlah “Tahmid”
Inilah realisasi berikutnya dari syukur yaitu menampakkan nikmat tersebut dengan ucapan tahmid (alhamdulillah) melalui lisan. Ini adalah sesuatu yang diperintahkan sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS. Adh Dhuha: 11)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
التَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ ، وَتَرْكُهَا كُفْرٌ
Membicarakan nikmat Allah termasuk syukur, sedangkan meninggalkannya merupakan perbuatan kufur.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahih Al Jaami’ no. 3014).
Lihat pula bagaimana impian Nabi Ibrahim tercapai ketika ia memperoleh anak di usia senja. Ketika impian tersebut tercapai, beliau pun memperbanyak syukur pada Allah sebagaimana do’a beliau ketika itu,
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاءِ
Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. ” (QS. Ibrahim: 39).
Para ulama salaf ketika mereka merasakan nikmat Allah berupa kesehatan dan lainnya, lalu mereka ditanyakan, “Bagaimanakah keadaanmu di pagi ini?” Mereka pun menjawab, “Alhamdulillah (segala puji hanyalah bagi Allah).”[2]
Oleh karenanya, hendaklah seseorang memuji Allah dengan tahmid (alhamdulillah) atas nikmat yang diberikan tersebut. Ia menyebut-nyebut nikmat ini karena memang terdapat maslahat dan bukan karena ingin berbangga diri atau sombong. Jika ia malah melakukannya dengan sombong, maka ini adalah suatu hal yang tercela.[3]
Memanfaatkan Nikmat dalam Amal Ketaatan
Yang namanya syukur bukan hanya berhenti pada dua hal di atas yaitu mengakui nikmat tersebut pada Allah dalam hati dan menyebut-nyebutnya dalam lisan, namun hendaklah ditambah dengan yang satu ini yaitu nikmat tersebut hendaklah dimanfaatkan dalam ketaaatan pada Allah dan menjauhi maksiat.
Contohnya adalah jika Allah memberi nikmat dua mata. Hendaklah nikmat tersebut dimanfaatkan untuk membaca dan mentadaburi Al Qur’an, jangan sampai digunakan untuk mencari-cari aib orang lain dan disebar di tengah-tengah kaum muslimin. Begitu pula nikmat kedua telinga. Hendaklah nikmat tersebut dimanfaatkan untuk mendengarkan lantunan ayat suci, jangan sampai digunakan untuk mendengar lantunan yang sia-sia. Begitu pula jika seseorang diberi kesehatan badan, maka hendaklah ia memanfaatkannya untuk menjaga shalat lima waktu, bukan malah meninggalkannya. Jadi, jika nikmat yang diperoleh oleh seorang hamba malah dimanfaatkan untuk maksiat, maka ini bukan dinyatakan sebagai syukur.
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Katsir berkata, sebagai penduduk Hijaz berkata, Abu Hazim mengatakan,
كل نعمة لا تقرب من الله عز وجل، فهي بلية.
“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.”[4]
Mukhollad bin Al Husain mengatakan,
الشكر ترك المعاصي
“Syukur adalah dengan meninggalkan maksiat.”[5]
Intinya, seseorang dinamakan bersyukur ketika ia memenuhi 3 rukun syukur: [1]  mengakui nikmat tersebut secara batin (dalam hati), [2] membicarakan nikmat tersebut secara zhohir (dalam lisan), dan [3] menggunakan nikmat tersebut pada tempat-tempat yang diridhoi Allah (dengan anggota badan).
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَأَنَّ الشُّكْرَ يَكُونُ بِالْقَلْبِ وَاللِّسَانِ وَالْجَوَارِحِ
Syukur haruslah dijalani dengan mengakui nikmat dalam hati, dalam lisan dan menggunakan nikmat tersebut dalam anggota badan.[6]
Merasa Puas dengan Rizki Yang Allah Beri
Karakter asal manusia adalah tidak puas dengan harta. Hal ini telah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai haditsnya. Ibnu Az Zubair pernah berkhutab di Makkah, lalu ia mengatakan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَقُولُ « لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ أُعْطِىَ وَادِيًا مَلأً مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا ، وَلَوْ أُعْطِىَ ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا ، وَلاَ يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ »
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya manusia diberi lembah penuh dengan emas, maka ia masih menginginkan lembah yang kedua semisal itu. Jika diberi lembah kedua, ia pun masih menginginkan lembah ketiga. Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan tanah. Allah tentu menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6438)
Inilah watak asal manusia. Sikap seorang hamba yang benar adalah selalu bersyukur dengan nikmat dan rizki yang Allah beri walaupun itu sedikit. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ
Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667)
Dan juga mesti kita yakini bahwa rizki yang Allah beri tersebut adalah yang terbaik bagi kita karena seandainya Allah melebihkan atau mengurangi dari yang kita butuh, pasti kita akan melampaui batas dan bertindak kufur. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.(QS. Asy Syuraa: 27)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Seandainya Allah memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang mereka butuh, tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.” Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan, “Akan tetapi Allah memberi rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.”[7]
Patut diingat pula bahwa nikmat itu adalah segala apa yang diinginkan seseorang. Namun apakah nikmat dunia berupa harta dan lainnya adalah nikmat yang hakiki? Para ulama katakan, tidak demikian. Nikmat hakiki adalah kebahagiaan di negeri akhirat kelak. Tentu saja hal ini diperoleh dengan beramal sholih di dunia. Sedangkan nikmat dunia yang kita rasakan saat ini hanyalah nikmat sampingan semata. Semoga kita bisa benar-benar merenungkan hal ini.[8]
Jadilah Hamba yang Rajin Bersyukur
Pandai-pandailah mensyukuri nikmat Allah apa pun itu. Karena keutamaan orang yang bersyukur amat luar biasa. Allah Ta’ala berfirman,
وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imron: 145)
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.” (QS. Ibrahim: 7)
Ya Allah, anugerahkanlah kami sebagai hamba -Mu yang pandai bersyukur pada-Mu dan selalu merasa cukup dengan segala apa yang engkau beri.
Diselesaikan atas taufik Allah di Pangukan-Sleman, 23 Rabi’ul Akhir 1431 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

HAK HAK TETANGGA

Kita pada umumnya mengharapkan tinggal dalam suatu lingkungan yang harmonis. Lingkungan yang saling menghargai, tidak saling menyakiti antara yang satu dengan yang lain, baik dalam bentuk perbuatan maupun hanya sekedar ucapan. Tidak berselisih walaupun di dalamnya terdapat orang yang berbeda-beda. Betapa indahnya! Kami yakin bahwa kita semua menginginkannya.
Islam Mewajibkan untuk Berbuat Baik pada Tetangga
Islam berusaha mewujudkan hal tersebut dan salah satu metodenya adalah dengan menekankan bagi pemeluknya untuk menunaikan hak-hak para tetangga. Islam memerintahkan untuk senantiasa berbuat baik terhadap tetangganya dan tidak menyakiti mereka. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Sembahlah Alloh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS. An Nisaa’ : 36).
Orang yang tidak berbuat baik kepada tetangganya, bahkan tetangganya merasa terganggu dengan perbuatan ataupun perkataannya yang keji, maka orang seperti ini berhak untuk masuk neraka. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya” (HR. Bukhori dan Muslim).
Beberapa Hak Tetangga
Beberapa hak tetangga yang wajib kita ditunaikan adalah :
Tidak menyakitinya baik dalam bentuk perbuatan maupun perkataan.
Dalilnya telah disebutkan di atas. Sebagian kaum muslimin merasa ‘enjoy’ menyakiti tetangganya dengan cara menggunjing dan menceritakan kejelekannya. Wahai saudaraku, sungguh ucapan itu telah menyakiti tetangga kita walaupun dia tidak mengetahuinya. Hal ini lebih sering dilakukan oleh para istri. Namun anehnya, kadang para suami juga tidak mau ketinggalan.
Menolongnya dan bersedekah kepadanya jika dia termasuk golongan yang kurang mampu.
Termasuk hak tetangga adalah menolongnya saat dia kesulitan dan bersedekah jika dia membutuhkan bantuan. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menghilangkan kesulitan sesama muslim, maka Alloh akan menghilangkan darinya satu kesulitan dari berbagai kesulitan di hari kiamat kelak” (HR. Bukhori). Beliau juga bersabda,”Sedekah tidak halal bagi orang kaya, kecuali untuk di jalan Alloh atau ibnu sabil atau kepada tetangga miskin …” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Menutup kekurangannya dan menasihatinya agar bertaubat dan bertakwa kepada Alloh Ta’ala.
Jika kita mendapati tetangga kita memiliki cacat maka hendaklah kita merahasiakannya. Jika cacat itu berupa kemaksiatan kepada Alloh Ta’ala maka nasihatilah dia untuk bertaubat dan ingatkanlah agar takut kepada adzab-Nya. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa menutupi aib muslim lainnya, maka Alloh akan menutup aibnya pada hari kiamat kelak” (HR. Bukhori).
Berbagi dengan tetangga
Jika kita memiliki nikmat berlebih maka hendaknya kita membagikan kepada tetangga kita sehingga mereka juga menikmatinya. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda, “Jika Engkau memasak sayur, perbanyaklah kuahnya dan bagikan kepada tetanggamu” (HR. Muslim). Dan tidak sepantasnya seorang muslim bersantai ria dengan keluarganya dalam keadaan kenyang sementara tetangganya sedang kelaparan. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda,”Bukanlah seorang mukmin yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangga sebelahnya kelaparan” (HR.  Bukhori dalam Adabul Mufrod).
Jika Tetangga Menyakiti Kita
Untuk permasalahan ini, maka cara terbaik yang dapat kita lakukan adalah bersabar dan berdo’a kepada Alloh Ta’ala agar tetangga kita diberi taufik sehingga tidak menyakiti kita. Kita menghibur diri kita dengan sabda Rosululloh,”Ada 3 golongan yang dicintai Alloh. (Salah satunya adalah) seseorang yang memiliki tetangga yang senantiasa menyakitinya, namun dia bersabar menghadapi gangguannya tersebut hingga kematian atau perpisahan memisahkan keduanya” (HR. Ahmad).
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

4 Feb 2011

Saat Terindah Dalam Hidup Manusia

Pernakah Anda mengalami saat-saat terindah dalam hidup Anda? Apakah yang Anda rasakan pada saat itu? Bukankah Anda merasakan hati Anda sangat bahagia sehingga Anda ingin seandainya saat-saat itu terulang kembali?
Setiap insan tentu pernah merasakan saat-saat terindah dalam hidupnya, akan tetapi masing-masing orang akan menjadikan saat terindah dalam hidupnya sesuai dengan apa yang mendominasi hati dan jiwanya.
Orang yang sedang semangat melakukan usaha perdagangan dan bisnis menganggap saat terindah adalah ketika dia berhasil meraup keuntungan besar dan berlipat ganda dalam bisnisnya. Orang yang berambisi besar untuk mendapatkan kedudukan dan jabatan duniawi merasa saat yang terindah adalah ketika dia berhasil menduduki jabatan tinggi dan penting dalam kariernya.
Demikian pula, orang yang sedang dimabuk cinta merasa bahwa saat terindah adalah ketika cintanya diterima oleh sang kekasih dan ketika berjumpa dengannya.
Demikianlah sekilas gambaran keadaan manusia dalam menilai saat-saat terindah dalam hidup mereka Sekarang marilah kita perhatikan dan renungkan dengan seksama, manakah di antara semua itu yang benar-benar merupakan kebahagiaan dan keindahan yang sejati, sehingga orang yang mendapatkannya berarti sungguh dia telah merasakan saat terindah dalam hidupnya?
Renungan tentang keindahan dan kebahagiaan hidup yang sejati
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya bentuk-bentuk kebahagiaan (keindahan) yang diprioritaskan oleh jiwa manusia ada tiga (macam):
1- Kebahagiaan (keindahan) di luar zat (diri) manusia, bahkan keindahan ini merupakan pinjaman dari selain dirinya, yang akan hilang dengan dikembalikannya pinjaman tersebut. Inilah kebahagiaan (keindahan) dengan harta dan kedudukan (jabatan duniawi).
Keindahan seperti ini adalah seperti keindahan seseorang dengan pakaian (indah) dan perhiasannya, tapi ketika pandanganmu melewati penutup dirinya tersebut maka ternyata tidak ada satu keindahanpun yang tersisa pada dirinya!
Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa ada seorang ulama yang menumpang sebuah kapal laut bersama para saudagar kaya, kemudian kapal tersebut pecah (dan tenggelam bersama seluruh barang-barang muatan). Maka para saudagar tersebut serta merta menjadi orang-orang yang hina dan rendah (karena harta mereka tenggelam di laut) padahal sebelumnya mereka merasa mulia (bangga) dengan kekayaan mereka. Sedangkan ulama tersebut sesampainya di negeri tujuan beliau dimuliakan dengan berbagai macam hadiah dan penghormatan (karena ilmu yang dimilikinya). Ketika para saudagar yang telah menjadi miskin itu ingin kembali ke negeri mereka, mereka bertanya kepada ulama tersebut: Apakah anda ingin menitip pesan atau surat untuk kaum kerabat anda? Maka ulama itu menjawab: “Iya, sampaikanlah kepada mereka: Jika kalian ingin mengambil harta (kemuliaan) maka ambillah harta yang tidak akan tenggelam (hilang) meskipun kapal tenggelam, oleh karena itu jadikanlah ilmu sebagai (barang) perniagaan (kalian)”.
2- (Bentuk) kebahagiaan (keindahan) yang kedua: kebahagiaan (keindahan) pada tubuh dan fisik manusia, seperti kesehatan tubuh, keseimbangan fisik dan anggota badan, keindahan rupa, kebersihan kulit dan kekuatan fisik. Keindahan ini meskipun lebih dekat (pada diri manusia) jika dibandingkan dengan keindahan yang pertama, namun pada hakikatnya keindahan tersebut di luar diri dan zat manusia, karena manusia itu dianggap sebagai manusia dengan ruh dan hatinya, bukan (cuma sekedar) dengan tubuh dan raganya, sebagaimana ucapan seorang penyair:
Wahai orang yang (hanya) memperhatikan fisik, betapa besar kepayahanmu dengan mengurus tubuhmu
Padahal kamu (disebut) manusia dengan ruhmu bukan dengan tubuhmu
[1]Inilah keindahan semu dan palsu milik orang-orang munafik yang tidak dibarengi dengan keindahan jiwa dan hati, sehingga Allah Ta’ala mencela mereka dalam firman-Nya:
{وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ}
Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh (penampilan fisik) mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka seakan-akan kayu yang tersandar” (QS al-Munafiqun: 4).
Artinya: mereka memiliki penampilan rupa dan fisik yang indah, tapi hati dan jiwa mereka penuh dengan keburukan, ketakutan dan kelemahan, tidak seperti penampilan lahir mereka[2].
3- (Bentuk) kebahagiaan (keindahan) yang ketiga: inilah kebahagiaan (keindahan) yang sejati, keindahan rohani dalam hati dan jiwa manusia, yaitu keindahan dengan ilmu yang bermanfaat dan buahnya (amalan shaleh untuk mendekatkan kepada Allah Ta’ala).
Sesungguhnya kebahagiaan inilah yang menetap dan kekal (pada diri manusia) dalam semua keadaan, dan menyertainya dalam semua perjalanan (hidupnya), bahkan pada semua alam yang akan dilaluinya, yaitu: alam dunia, alam barzakh (kubur) dan alam tempat menetap (akhirat). Dengan inilah seorang hamba akan meniti tangga kemuliaan dan derajat kesempurnaan”[3].
Berbahagialah dengan saat terindah dalam hidupmu!
Berdasarkan renungan tentang keindahan dan kebahagiaan hidup di atas, maka jelaslah bahwa keindahan dan kebahagiaan yang sejati dalam hidup manusia adalah dengan mengamalkan amalan shaleh yang dicintai oleh Allah Ta’ala dan mengutamakannya di atas segala sesuatu yang ada di dunia ini.
Inilah keindahan dan kebahagiaan sejati yang direkomendasikan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
{قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ}
Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang berilmu) bergembira (berbangga), kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kesenangan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia)” (QS Yunus:58).
Dalam ayat ini Allah Ta’ala memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar mereka merasa bangga (gembira dan bahagia) dengan anugerah yang Allah Ta’ala berikan kepada mereka, dan Dia U menyatakan bahwa anugerah dari-Nya itu lebih indah dan mulia dari semua kesenangan dunia yang berlomba-lomba dikejar oleh kebanyakan manusia ”Karunia Allah” dalam ayat ini ditafsirkan oleh para ulama ahli tafsir dengan “keimanan”, sedangkan “Rahmat Allah” ditafsirkan dengan “Al Qur-an”, yang keduanya (keimanan dan Al Qur-an) adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan shaleh, sekaligus keduanya merupakan petunjuk dan agama yang benar (yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)[4].
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata, “Kenikmatan (yang berupa) agama (iman) yang bergandengan dengan kebahagiaan dunia dan akhirat (jelas) tidak bisa dibandingkan dengan semua kenikmatan duniawi yang hanya sementara dan akan hilang”[5].
Inilah kebahagiaan hakiki bagi hati dan jiwa manusia, yang digambarkan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam ucapan beliau, “Semua perintah Allah (dalam agama Islam), hak-Nya (ibadah) yang Dia wajibkan kepada hamba-hamba-Nya, serta semua hukum yang disyariatkan-Nya (pada hakekatnya) merupakan qurratul ‘uyuun (penyejuk pandangan mata), serta kesenangan dan kenikmatan bagi hati (manusia), yang dengan (semua) itulah hati akan terobati, (merasakan) kebahagiaan, kesenangan dan kesempurnaan di dunia dan akhirat. Bahkan hati (manusia) tidak akan merasakan kebahagiaan, kesenangan dan kenikmatan yang hakiki kecuali dengan semua itu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
{يا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدىً وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ، قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ}
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kesenangan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia)” (QS.Yuunus:57-58)”[6].
Maka berdasarkan semua ini, berarti saat yang paling indah dalam hidup seorang manusia adalah ketika Allah Ta’ala melimpahkan taufik-Nya kepadanya untuk mengikuti jalan Islam dan memberi petunjuk kepadanya untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya guna mencapai keridhaan-Nya.
Inilah pernyataan yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada shahabat yang mulia, Ka’ab bin Malik, ketika Allah Ta’ala menurunkan ayat al-Qur’an[7] tentang diterima-Nya taubat shahabat ini dan dua orang shahabat lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya dengan wajah yang berseri-seri karena gembira, “Berbahagialah dengan hari terindah yang pernah kamu lalui sejak kamu dilahirkan ibumu”[8].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan hari diterimanya taubat seorang hamba oleh Allah Ta’ala sebagai hari/saat yang terindah dalam hidupnya karena taubat itulah yang menyempurnakan keislaman seorang hamba, maka ketika dia masuk Islam itulah awal kebahagiaannya dan ketika Allah Ta’ala menerima taubatnya itulah penyempurna dan puncak kebahagiaannya, sehingga hari itu adalah saat terindah dalam hidupnya[9].
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Dalam hadits ini terdapat argumentasi (yang menunjukkan) bahwa hari yang paling indah dan utama bagi seorang hamba secara mutlak adalah ketika dia bertaubat kepada Allah dan Allah menerima taubatnya.…Kalau ada yang bertanya: Bagaimana (mungkin) hari ini (dikatakan) lebih baik daripada hari (ketika) dia masuk Islam? Jawabannya: hari ini adalah penyempurna dan pelengkap hari (ketika) dia masuk Islam, maka hari (ketika) dia masuk Islam adalah awal kebahagiaanya, sedangkan hari taubatnya adalah penyempurna dan pelengkap kebahagiaanya, wallahu musta’aan[10].
Senada dengan hadits di atas, ucapan shabat yang mulia, Anas bin Malik yang menggambarkan kegembiraan para shahabat ketika mendengar sebuah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Anas bin Malik berkata, “Maka kami (para shahabat ) tidak pernah merasakan suatu kegembiraan setelah (kegembiraan dengan) Islam melebihi kegembiraan kami tatkala mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Engkau (akan dikumpulkan di surga) bersama orang yang kamu cintai”. Maka aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu bakar t dan Umar t, dan aku berharap akan bersama mereka (di surga nanti) dengan kecintaanku kepada mereka meskipun aku belum mampu melakukan seperti amal perbuatan mereka”[11].
Hadits yang agung ini menunjukkan bahwa saat-saat yang terindah bagi orang-orang yang sempurna imannya, para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ketika mereka mendapat hidayah untuk menempuh jalan Islam dan ketika mereka memahami serta mengamalkan petunjuk Allah Ta’ala untuk mencapai ridha-Nya dan masuk ke dalam surga-Nya.
Saat yang paling indah di akhirat kelak adalah ketika bertemu Allah Ta’ala
Allah Ta’ala berfirman,
{فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا}
Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya (Allah Ta’ala) maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan Allah dengan apapun dalam beribadah kepada-Nya” (QS al-Kahfi:110).
Inilah saat terindah yang dinanti-nantikan oleh orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah Ta’ala, yaitu saat ketika bertemu dengan-Nya untuk mendapatkan balasan kebaikan dan kemuliaan dari-Nya[12].
Dalam sebuah doa dari Imam Hasan al-Bashri: “Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik amalan kami sebelum ajal (menjemput) kami, dan jadikanlah sebaik-baik hari (bagi) kami adalah hari ketika kami berjumpa dengan-Mu”[13].
Mereka inilah orang-orang yang mencintai perjumpaan dengan Allah Ta’ala maka Allah pun mencintai perjumpaan dengan mereka, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,Barangsiapa yang mencintai perjumpaan dengan Allah maka Allah mencintai perjumpaan dengannya[14].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kegembiraan orang yang bertakwa ketika bertemu Allah Ta’ala dengan amal shaleh yang mereka lakukan di dunia, dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan; kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika berjumpa dengan Rabbnya (Allah Ta’ala)”[15].
Kemudian, saat yang paling indah bagi orang-orang yang beriman ketika berjumpa dengan Allah Ta’ala adalah saat mereka memandang wajah-Nya yang maha mulia. Inilah kenikmatan tertinggi yang Allah janjikan bagi mereka yang melebihi besarnya kenikmatan lainnya yang ada di surga. Allah Ta’ala berfirman,
{لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلا ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ}
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah Ta’ala). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya” (QS Yuunus:26).
Arti “tambahan” dalam ayat ini ditafsirkan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih, yaitu kenikmatan melihat wajah Allah Ta’ala, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling memahami makna firman Allah Ta’ala[16]. Dalam hadits yang shahih dari seorang sahabat yang mulia, Shuhaib bin Sinan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah Ta’ala Berfirman: “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)? Maka mereka menjawab: Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka? Maka (pada waktu itu) Allah Membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai dari pada melihat (wajah) Allah Ta’ala”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tersebut di atas[17].
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa kenikmatan melihat wajah Allah Ta’ala adalah kenikmatan yang paling mulia dan agung serta melebihi kenikmatan-kenikmatan di surga lainnya[18].
Imam Ibnu Katsir berkata: ”(Kenikmatan) yang paling agung dan tinggi (yang melebihi semua) kenikmatan di surga adalah memandang wajah Allah yang maha mulia, karena inilah “tambahan” yang paling agung (melebihi) semua (kenikmatan) yang Allah berikan kepada para penghuni surga. Mereka berhak mendapatkan kenikmatan tersebut bukan (semata-mata) karena amal perbuatan mereka, tetapi karena karunia dan rahmat Allah” [19].
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggandengkan kenikmatan tertinggi ini dengan sifat kekasih Allah Ta’ala yang disebutkan dalam hadits di atas, yaitu selalu merindukan perjumpaan dengan Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam doa beliau, “(Ya Allah) aku meminta kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti) dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia), tanpa adanya bahaya yang mencelakakan dan fitnah yang menyesatkan[20].
Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “Ighaatsatul lahafaan”[21] menjelaskan keterkaitan dua hal ini, yaitu bahwa kenikmatan tertinggi di akhirat ini (melihat wajah Allah Ta’ala) adalah balasan yang Allah Ta’ala berikan kepada orang yang selalu mengharapkan dan merindukan pertemuan dengan Allah Ta’ala, yaitu kekasih-Nya yang telah merasakan kesempurnaan dan kemanisan iman, yang wujudnya berupa perasaan tenang dan bahagia ketika mendekatkan diri dan berzikir kepada-Nya.
Atau dengan kata lain, orang yang akan menjumpai saat yang paling indah dan dinanti-nantikan di akhirat ini, yaitu saat melihat wajah Allah Ta’ala yang maha mulia, adalah orang yang ketika di dunia dia merasakan bahwa saat terindah dalam hidupnya adalah ketika dia beribadah dan mendekatkan diri kepada Zat yang dicintainya, Allah Ta’ala.
Nasehat dan penutup
Demikianlah gambaran saat-saat paling indah bagi para kekasih Allah Ta’ala di dunia dan akhirat, bandingkanlah dengan saat-saat yang dianggap paling indah oleh mayoritas manusia sekarang ini.
Kemudian tanyakan kepada diri kita sendiri: apakah yang kita anggap sebagai saat terindah dalam hidup kita?
Maka berbahagialah hamba Allah yang menjadikan saat terindah dalam hidupnya ketika dia beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Berbahagialah dengan kabar gembira dari Allah Ta’ala berikut ini:
{إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنزلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ نزلا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ}
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (beristiqamah), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan memberi kabar gembira): “Janganlah kamu merasa takut dan bersedih hati; dan bergembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah penolong-penolongmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya (surga) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kamu minta”. Sebagai hidangan (balasan yang kekal bagimu) dari (Allah) Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Fushilat: 30-32).
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
{أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ * الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ، لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ، لا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ، ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}
Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali (kekasih) Allah itu, tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar” (QS Yunus: 62-64).
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita untuk mendapatkan kebaikan dari-Nya di dunia dan akhirat, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 30 Muharram 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id